100 Hari Jokowi tanpa Akselerasi dan Industri Manufaktur yang Menurun

0
499
Reporter: Leo Farhan

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai 100 hari pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di bidang ekonomi sama sekali tanpa akselerasi. Itu tampak dari pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat di Triwulan IV 2019.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia Triwulan IV 2019 hanya mencapai 4,97% secara tahunan. Secara keseluruhan perekonomian Indonesia di 2019 hanya tumbuh 5,02% secara tahunan dan jauh dari target yang ditetapkan 5,3% di APBN 2019.

“Kuartal IV merupakan gongnya di mana pertumbuhan ekonomi kita bisa di atas 5%, nah baru kali ini sudah di bawah 5%,” kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad di Jakarta, Kamis (6/2).

Atas fakta itu, Tauhid membandingkan perlambatan itu dengan pertumbuhan di Kuartal IV 2017 yang mencapai 5,19% dan Kuartal IV 2018 sebesar 5,18%. Perbandingan ini, kata Tauhid, membuktikan dalam 2 dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi di setiap Kuartal IV tumbuh di atas 5%.

“Saya sempat hitung 20 tahun terakhir hanya 5 kali Kuartal IV kita tumbuh di bawah 5%, yakni 2001, 2002, 2003 dan 2 kali di periode Pak Jokowi yakni 2016 dan 2019,” kata Tauhid menambahkan.

Baca Juga :   Januari 2020, Defisit Neraca Dagang Indonesia Sudah Menipis

Penurunan pertumbuhan ini,kata Tauhid, menggambarkan semakin beratnya persoalan ekonomi sehingga menurunkan rasa optimistis para pebisnis. Itu ditandai dengan turunnya Indeks Tendensi Bisnis di Desember 2019 di posisi 104,82 setelah sebelumnya September 2019 sebesar 105,33 dan Juni 2019 sebesar 108,81.

Manufaktur Turun
Di tempat yang sama, peneliti Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, penurunan pertumbuhan berimbas kepada industri manufaktur. Itu terlihat dari pertumbuhannya di 2019 hanya 3,8%, turun dari 2018 yang tumbuh 4,27%. Rendahnya kualitas investasi dan insentif yang tidak tepat sasaran, menurut Andry, menjadi biang kerok penurunan pertumbuhan industry manufaktur.

Menurunnya pertumbuhan industri manufaktur dan lebih mengarah kepada sektor jasa akan berdampak kepada serapan tenaga kerja berbasis investasi akan semakin rendah. Bahkan wacana Omnibus Law, menurut Andry, hanya akan membuat ketidakpastian karena akan mendorong investasi yang tidak berkualitas.

Tentu saja akan membuat industri manufaktur menurun. “Harusnya pemerintah dapat memetakan, mana investasi yang perlu atau tidak, bukan menutup mata dengan memberi masuk investor asing melalui Omnibus Law,” kata Andry.

Baca Juga :   UU Cipta Kerja Dinilai sebagai Jembatan Penghubung 3 Hal Ini di Indonesia

Soal insentif fiskal terhadap investor selama ini, menurut Andry, tidak tepat sasaran. Pengurangan dan tax holiday tanpa memperhatikan kebutuhan industri hanya akan menambah daftar insentif tapi minim efisiensi. “Beberapa industri saja bahkan ada yang tidak perlu insentif fiskal, melainkan faktor produksi seperti harga energi dan bahan baku yang tersedia dengan harga kompetitif lah yang lebih efisien,” kata Andry.

Leave a reply

Iconomics