Faisal Basri: “Stimulus” Pemerintah untuk Covid-19 Hanya Rp 73,4 T

0
493
Reporter: Yehezkiel Sitinjak

Membengkaknya defisit Anggaran  Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 yang diperkirakan mencapai 5,8% dari PDB bukan karena meningkatnya anggaran untuk menanggulangi dampak Covid-19. Karena itu, stimulus pemerintah terhadap masyaralat untuk menghadapi wabah corona itu praktis tidak ada.

Demikian pendapat ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri terhadap membengkaknya defisit APBN yang disebut karena stimulus menangani wabah corona. yang menjadi fakta saat ini, kata Faisal, penerimaan negara menurun secara drastis.

“Peningkatan belanja cuma Rp 73,4 triliun, sedangkan penerimaannya turun Rp 472 triliun. Praktis tidak ada stimulus sebetulnya kalau dilihat dari magnitude penambahan belanja APBN,” tutur Faisal saat telekonferensi secara virtual, Jakarta, Jumat (24/4).

Faisal mengatakan, keterlambatan pemerintah bertindak dan menangani wabah corona secara dini amat disayangkan. Ditambah lagi kementerian dan lembaga tidak sinkron dalam menangani Covid-19 sehingga sulit memperkirakan berapa lama sesungguhnya dampak pandemi ini di Indonesia. Ini justru mengkhawatirkan, kata Faisal.

Dia juga menyesalkan lambatnya pemerintah untuk memeriksa masyarakat secara massal soal Covid-19 ini. Data menunjukkan, hanya sekitar 214 orang per 1 juta orang yang dites Covid-19.

Baca Juga :   Generali Indonesia Janjikan Perlindungan Tambahan untuk Nasabah yang Positif Covid-19

“Ini membuat kita kecolongan banyak. Misalnya, Iran kasus aktifnya sudah turun namun kita terus naik. Mungkin puncaknya sesudah Lebaran karena sudah banyak yang mudik,” kata Faisal.

Dari fakta ini, menurut Faisal, perkiraan pertumbuhan ekonomi sekitar 2% seperti yang diprediksi Dana Moneter Internasional (IMF) dan pemerintah terlalu optimistis. “Saya rasa jika (pertumbuhan) 2% merupakan pencapaian yang luar biasa. Jangan diharapkan ekonomi tumbuh di situasi seperti ini,” kata Faisal.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin mengatakan, penurunan penerimaan APBN sekitar Rp 472 triliun itu disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, karena menurunnya harga komoditas di pasar global, terutama terhadap komoditas batu bara dan minyak, sehingga penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mengalami penurunan.

Faktor kedua, kata Masyita, penurunan tersebut karena pemberian insentif fiskal oleh pemerintah terhadap 18 sektor industri yang terdampak Covid-19. Insentif itu berupa pajak penghasilan (PPh) Pasal 21,Ppasal 22 impor, dan Pasal 25.

Selain itu, menurut Masyita, pemerintah juga menyiapkan stimulus below the line senilai Rp 150 triliun khusus untuk membantu sektor riil, khususnya segmen usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). “Stimulus secara keseluruhan paket, bahwa penurunan penerimaan adalah sebagian besar dalam bentuk stimulus. Kemudian ada juga dana below the line yang tidak masuk penghitungan defisit namun juga merupakan stimulus,” kata Masyita.

Leave a reply

Iconomics