Kontroversi Bisnis Rokok Elektrik Secara Global

0
220
Reporter: Kristian Ginting

Pada suatu Juli 2019. Dia tiba-tiba merasa sesak napas. Badannya panas. Demam tinggi, rupanya. Berselang 2 jam, dia merasa sangat lelah dan otaknya sama sekali tak bekerja. Dia mencoba bertahan. Situasinya tiba-tiba berubah dari serius menjadi koma.

Itulah yang dialami Maddie Nelson, 18 tahun, warga Utah, Amerika Serikat (AS) pada 27 Juli lalu. Kisahnya yang berawal dari rasa tidak enak badan beberapa minggu sebelum masuk rumah sakit viral di lini masa Facebook. Kepada para pembacanya, Maddie Nelson menyarankan agar tidak mengkonsumsi vape atau juul stick.

Perempuan muda ini pengkonsumsi aktif vape selama 3 tahun. Awalnya hanya untuk gaya hidup. Kampanye yang masif soal vape membuat Maddie Nelson percaya bahwa mengkonsumsi hal itu adalah aman. Kenyataannya, paru-paru Maddie Nelson meradang dan rusak. Vape disebut sebagai penyebabnya. Dan karena itu pula, Maddie Nelson koma selama 4 hari.

Maddie Nelson sesungguhnya tidak sendiri. Dan boleh dibilang nasibnya lebih beruntung karena masih terselamatkan. Baru-baru ini ada 7 orang dinyatakan meninggal dunia karena teridentifikasi pengguna vape. Karena itu pula, pemerintah AS berniat melarang penggunaan vape rasa buah beserta rasa mint dan mentol. Hanya rasa tembakau yang diperbolehkan beredar dan harus mendapat izin dari FDA semacam lembaga BPOM.

Baca Juga :   DPR Minta Kemenpora Selesaikan soal Tes Doping agar Merah Putih Bisa Lagi Berkibar

Karena rencana pemerintahan Donald Trump itu, maka menjadi penting untuk mengetahui: seberapa besar pasar rokok elektrik atau vape itu? Laporan BBC menyebutkan, vape semakin populer dan pasarnya pun berkembang. Merujuk kepada data WHO, walau kecil, jumlah perokok di dunia mengalami penurunan. Diperkirakan mencapai 1 miliar orang.

Berbeda dengan pengguna vape yang justru meningkat saban tahun. Awalnya hanya 7 juta orang pada 2011 meningkat menjadi 41 juta orang pada 2018. Lembaga riset Euromonitor memperkirakan jumlah orang dewasa yang menggunakan vape akan mencapai 55 juta pada 2021.

Di AS, merujuk data Departemen Kesehatan mereka, 40% siswa sekolah menengah atas menggunakan rokok elektrik. Sedangkan, siswa sekolah menengah pertama yang menggunakan rokok elektrik mencapai 27%. Khusus untuk siswa sekolah menengah pertama ini kenaikannya cukup tinggi dari 10,5% di 2014 menjadi 27,4% pada 2018.

Pasar rokok elektrik secara global diperkirakan mencapai US$ 19,3 miliar, naik US$ 6,9 dari 5 tahun yang lalu. AS, Inggris dan Prancis disebut pasar terbesar untuk penjualan rokok elektrik yang mencapai US$ 10 miliar di 2018. Merujuk kepada laporan riset pasar yang diterbitkan P&S Intelligence, pasar rokok elektrik secara global diperkirakan mencapai US$ 41,7 miliar pada 2024.

Baca Juga :   Bank Dunia: PDB Indonesia Tumbuh 5,0% di 2019

Di Negara Bagian California – setelah kematian 7 orang – akan melarang penjualan vape yang berasa buah, mint dan mentol. Pemerintah negara bagian juga akan menyelidiki pengenaan cukai vape yang lebih rendah ketimbang rokok tembakau. Vape hanya dikenai US$ 1,48, sementara satu bungkus rokok dikenakan cukai US$ 2,87. Sedangkan di Inggris, pada paruh pertama tahun ini sekitar 69 gerai atau toko vape telah dibuka.

Di Indonesia, Apsari Damayanti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga dalam jurnal Penggunaan Rokok Elektronik di Komunitas Personal Vaporizer Surabaya menyebutkan, masyarakat yang sadar akan rokok elektrik pada 2010 telah mencapai 10,9%.

Berdasarkan pengguna rokok elektronik di Indonesia, yaitu di antara pengguna baru dan mantan perokok, pada 2010 hingga 2011 mencakup 0,5% dari total penduduk. Dengan kata lain, pengguna vape di Indonesia mencapai sekitar 1,2 juta orang di masa itu. Kalau sekarang, September 2019 angkanya tentu jauh lebih besar.

Ekspansi Juul
Setelah rencana tegas pemerintah AS untuk melarang penjualan rokok elektrik berasa buah, mint dan mentol, produsen vape terbesar di sana yakni Juul Labs mulai menyasar pasar Asia. Juul menguasai pangsa pasar rokok elektrik AS hingga 72% pada September 2018. Dan sekarang menyasar Asia, tempat separuh dari jumlah perokok dunia. Juul telah berekspansi secara agresif sejak tahun lalu. Mereka telah meluncurkan produknya di Korea Selatan, Filipina dan Indonesia.

Baca Juga :   Inovasi FamilyMart di Era Industri 4.0

Kendati rokok kretek tetap akan mendominasi industri rokok Indonesia, diperkirakan setelah peluncuran Juul, rokok elektrik akan mengambil 5% pasar industri rokok kretek Indonesia. Juul menggandeng perusahaan telekomunikasi Eraja Swasembada untuk memasarkan produknya secara khusus di toko-toko di daerah Bali dan Jakarta.

Kendati demikian, ekspansi pasar rokok elektrik akan mengalami hambatan karena harga alat dan biaya perawatannya. Di Indonesia harga jual rata-rata produk rokok diperkirakan akan meningkat 5% hingga 7% antara 2020 hingga 2021. Lebih cepat dari perkiraan inflasi yang dipatok 3%. Volume penjualan rokok diperkirakan datar untuk 3 tahun ke depan.

Pendapatan industri rokok pada tahun ini mencapai US$ 24,1 miliar. Dengan pertumbuhan sekitar 4,8%. Ekspor rokok tahun lalu disebut mencapai US$ 931,6 juta. Jumlah perokok yang mencapai 35% dari populasi menjadi alasan Juul berekspansi ke Indonesia. Lantas bagaimana nasib Juul kelak?

Leave a reply

Iconomics