Ada Produk Asuransi Jiwa Bermasalah, Bagaimana Pengawasan yang Dilakukan oleh OJK?

0
120
Reporter: Petrus Dabu

Kepala Eksekutif IKNB OJK Riswinandi

Pada awal bulan ini, sejumlah nasabah PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life) berunjuk rasa di kantor perusahaan itu di kawasan SCBD Jakarta Selatan. Para nasabah yang berjumlah lebih dari 70 orang itu kecewa dengan rencana penyelesaian polis dua produk asuransi Kresna Life yaitu PIK & K-LITA. Intinya, Kresna Life mengalami kesulitan likuiditas sehingga pemenuhan kewajiban kepada para nasabah pun tak bisa dilakukan sebagaimana perjanjian di dalam polis.

Kasus lain yang juga masih menjadi hangat dibicarakan saat ini adalah yang dialami oleh PT Asuransi Jiwa Adisarana WanaArtha atau WanaArtha Life. Perusahaan asuransi jiwa ini juga tak bisa membayar kewajiban kepada para nasabah karena rekening efek perusahaan itu diblokir oleh Kejaksaan Agung karena diduga terkait dengan kasus tindak pidana korupsi di PT Asuransi Jiwasraya.

Kasus Asuransi Jiwasraya sendiri juga sudah ramai diperbicangkan sejak tahun lalu. Perusahaan asuransi milik pemerintah ini mengalami kegagalan investasi sehingga kewajiban kepada para nasabah pun tak bisa dibayar.

Dari tiga kasus asuransi jiwa ini, jelas para nasabah mengalami kerugian karena salah kelola yang dilakukan oleh pengurus perusaaan asuransi. Lantas dimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dan pengawas industri jasa keuangan untuk mencegah terjadinya kasus seperti yang dialami oleh tiga perusahaan asuransi jiwa tersebut?

Baca Juga :   Untuk Bayar Kewajiban ke Pemegang Polis, OJK Dorong Kepolisian Sita Harta Pemilik Wanaartha Life

Riswinandi, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Non-Bank sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK mengatakan sebenarnya untuk industri asuransi di Indonesia, OJK sudah memiliki tata kelola (governance) seperti terkait produk (POJK 23), perizinan (POJK 67), teta kelola (POJK 69) dan tingkat kesehatan (POJK 71). Namun disadari bahwa tata kelola industri IKNB termasuk asuransi di dalamnya belum sebaik industri perbankan.

“Makanya di dalam transformasi IKNB ini kita mengambil benchmark  ke pengaturan-pengaturan sistem pengawasan yang ada di perbankan tetapi tentu menyesuaikan dengan kondisi perasuransian kita. Oleh sebab itu beberapa ketentuan terus kita perbaiki antara lain yang menyangkut rencana bisnis, kemudian mengenai tingkat kesehatan [sehingga] kita dalam pengawasannya menjadi lebih fokus, kemudian mengenai concentration risk,” ujarnya di Jakarta, Kamis (27/8).

Riswinandi mengatakan rencana bisnis perusahaan asuransi ini sangat penting untuk diperbaiki, terutama terkait dengan penerbitan produk. Selama ini, jelasnya perusahaan asuransi selalu menyampaikan bahwa produk yang mereka tawarkan sudah disetujui OJK. Tetapi, ia mengatakan bukan berarti setelah disetujui OJK, perusahaan asuransi melakukan tindakan semaunya.

Baca Juga :   Jelang Putusan, Nasabah WanaArtha: Penyitaan oleh Kejaksaan Agung Tidak Sah dan Tidak Meyakinkan

“Akan tetapi harus tetap ada pengawasan secara internal sesuai dengan ketentuan daripada produk yang disetujui tersebut mulai dari kesepakatan di dalam promissory notes-nya. Kan bisa saja terjadi perubahan-perubahan. Oleh sebab itu kita dari waktu ke waktu melihat ini. Contoh misalnya ada perusahaan asuransi yang ingin menerbitkan produk baru, kita akan lihat di rencana bisnisnya sudah direncanakan belum? Kalau enggak direncanakan tetapi lihat trennya kelihatan bisa meningkatkan kinerja mereka, [namun] tidak ada di dalam rencana bisnis, kita tidak setujui. Kita minta itu diajukan setelah perubahan daripada rencana bisnisnya,” jelasnya.

Rencana bisnis itu sendiri juga hanya bisa diubah atau revisi satu kali dalam setahun. “Jadi, ini kita betul-betul ingin well planning di dalam pengoperasian industri asuransinya,” ujar Riswinandi.

Hal lain yang juga menjadi perhatian OJK dalam transformasi perusahaan asuransi adalah terkait investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi. Riswinandi mengungkapkan data OJK menunjukkan bahwa kurang lebih 80% dari investasi-investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi khsususnya asuransi jiwa yang mengelola kontrak-kontrak jangka panjang menggunakan instrumen pasar modal.

Baca Juga :   Penjara Seumur Hidup Benny Tjokro, Penyitaan Barang Bukti Hingga Kemarahan Nasabah WanaArtha

Karena itulah, menurutnya perlu pengawasan terintegrasi antara pengawas asuransi, pasar modal dan perbankan agar pengawasan bisa lebih optimal. Contoh untuk industri asuransi yang ingin memasarkan produknya melalui bank (bancassurance), pengawas IKNB hanya memberikan izin produknya, tetapi terkait dengan mekanisme review terhadap risikonya dilakukan oleh pengawas bank.

“Yang lain yang kita lakukan saat ini adalah integrasi kita dengan pengawas pasar modal, karena tadi 80% menggunakan instrumen pasar modal.  Jadi kita harus berintegrasi dengan pengawas pasar modal mengenai kondisi dari masing-masing instrumen,” ujarnya.

Ke depan akan dibangun sistem supaya pengetahuan pengawas terhadap investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi bukan hanya berdasarkan laporan bulanan atau berkala yang disampaikan oleh perusahaan asuransi. Tetapi secara proaktif, pengawas asuransi masuk ke sistem yang ada di pengawas pasar modal untuk bisa lebih dulu tahu portofolio investasi dari perushaan asuransi baik di saham mapun di reksa dana.

“Ini yang harus kita lihat, jangan sampai terjadi ada potensi-potensi, betul investasi di saham tetapi [di] grupnya sendiri yang juga merupakan public company,” ujar Riswinandi.

 

Leave a reply

Iconomics