Aprobi: Penggunaan Biodiesel Berhasil Tekan Impor Solar Senilai US$ 3,8 Miliar

0
832
Reporter: Petrus Dabu

Defisit neraca perdagagan khususnya neraca perdagangan minyak dan gas (migas) menjadi beban ekonomi Indonesia sejak beberapa tahun lalu hingga  saat ini. Untuk mengatasinya, pemerintah telah mengimplementasikan program biodisel.

Sejak 1 September 2018, pemerintah menerapakan kebijakan mandatori B20 yaitu campuran 20% biodiesel pada solar. Kemudian mulai 1 Januari 2020, kebijakan mandatori ini diperluas menjadi B30. Rencananya, ke depan akan ditingkatkan menjadi B40 dan bahkan B100.

Bagaiman dampak mandatori biodiesel ini?

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan tahun 2019 lalu, konsusmi biodiesel di Indonesia mencapai 6,7 juta Kiloliter (KL). “Ini bisa menghemat, artinya mengurangi impor solar US$ 3,8  miliar pada tahun lalu,” ungkapnya dalam konferensi pers bersama Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki)  di Jakarta, Senin (3/2).

Seiring dengan meningkatnya penyerapan biodiesel di dalam negeri ini, menurut Paulus ada sejumlah masalah yang dihadapi seperti peningkatan kualitas yang harus terus diperbaiki. Kemudian,  aadanya kendala transportasi kerena  volumenya melonjak 50%  yang tadinya B20 menjadi B30. “Mencari transportasi yang sesuai, yang tersertifikat untuk bahan bakar itu memang tidak mudah dan ini terus kita perbaiki,” ujarnya.

Baca Juga :   Anggota Komisi IV Ini Desak Pemerintah Evaluasi Larangan Ekspor CPO, Ini Alasannya

Masalah lain, lanjtnya adalah kapaitas tempat penyimpanan atau storage dan kapasitas pelabuhan yang perlu ditingkatkan. “Kita sekarang sedang terus mengatasi hal-hal itu. Mudah-mudahan dalam bulan kedua, ketiga juah lebih baik,” ujarnya.

Bila berbagai tantangan ini bisa diatasi, menurut Paulus, tahun 2020 ini penyerapan biodiesel di dalam negeri diperkirakan mencapai kurang lebih 9,6 juta KL. “Kalau itu bisa berjalan dengan baik, diharapakn kami bisa menghemat sekitar US$ 5,4 miliari di dalam impor solar ke depan,” tandasnya.

Selain untuk konsumsi dalam negeri, Paulus mengungkapkan tahun lalu, Indonesia juga mengekspor 1,3 juta KL biodiesel ke sejumlah negara. Volume ekspor biodiesel ini turun sekitar 18% dibadingkan tahun 2018 yang mencapai 1,6 juta KL.

Tahun 2020 ini, menurut Paulus ada sejumlah ganjalan untuk melakukan ekspor.  Pertama, pajak impor yang tinggi yaitu 8-18% ke Eropa. Dengan tingkat pajak sebesar itu, menurutnya sulit untuk ekspor biodiesel ke Eropa. Namun, pasar lainnya adalah ke China.

“China tahun lalu itu dapat biodiesel  dari Indoensia sebanyak 612.947 KL. Nah kemungkinan  ini bisa meningkat untuk China namun ada faktor kapsitas. Kapasitas di dalam negeri kita prkatis sudah habis,” ujarnya.

Baca Juga :   Kemendag: Harga Referensi CPO Pertengahan hingga Akhir Agustus 2022, US$ 900,52/MT

Ia menjelaskan kapasitas produksi biodiesel di dalam negeri sekitar 12 juta KL. Namun, tingkat produksinya hanya 85%. Sementara tahun ini, penyerapan di dalam negeri diperkirakan sebesar 9,6 juta KL.

“Jadi teorinya kita tidak ekspor terlebih dahulu, minimum  pada permulaan tahun ini. Tetapi kalau nanti sudah ada perushaaan yang bisa meningkatkan kapasits dan kebetulan mereka mempunyai kemampuan untuk ekspor mungkin baru bisa ekspor paling cepat kuartal kedua atau ketiga. Tetapi kita masih belum tahu,” jelasnya.

Paulus mengungkapkan sebenarnya, para pelaku industri biodiesel saat ini terus meningkatkan kapasitas produksi.  Tahun ini saja ada sejumlah perusahaan yang hendak membangun pabrik biodiesel dengan total kapasitas mencapai 3,61 juta KL. “Ada yang selesai pada bulan April, ada yang pertengahan tahun, ada yang akhir tahun. Kemudian tahun 2021 ada  tambahan lagi 3,6 juta KL,” bebernya.

 

Leave a reply

Iconomics