Asosiasi: Smelter Nikel Menjamur, Kenapa Penambang Malah Makin Terpuruk?

0
1973
Reporter: Petrus Dabu

Menjamurnya pabrik pengolahan (smelter) biji nikel di Indonesia tak lantas membuat bisnis para penambang nikel di Indonesia menjadi lebih baik. Malah, menurut Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), bisnis mereka makin terpuruk.

Sekretaris Jenderl APNI, Meidy Katrin Lengkey mengatakan jumlah smelter di Indonesia sudah menjamur. Khusus untuk nikel saja, menurut dia, terdata ada sekitar 41 smelter, belum termasuk perusahaan yang menambah kapasiatas pabriknya.

Hitungan APNI, dengan jumlah smelter yang ada saat ini, tahun 2022 kebutuhan biji nikel (ore) untuk memenuhi kebutuhan smelter tersebut mencapai 100 juta ton per tahun.

Tetapi yang jadi soal, jelas Meidy, ada sejumlah masalah yang terjadi di lapangan. Pertama, mayoritas smelter yang ada hanya menyerap biji nikel kadar 1,8%. Sedangkan biji nikel kadar kurang dari 1,8% tidak diterima. Padahal, menurut dia biji nikel kadar tinggi (high grade) di pertambangan hanya sekitar 30%, sisanya adalah low grade yang berkadar di bawah 1,8%.

“Kita tanya, low grade-nya mau diapain?” ujarnya di Jakarta, Jumat (28/2).

Baca Juga :   HIPMI Minta Pemerintah Atur Tata Niaga Perdagangan Nikel

Anehnya, menurut dia, smelter di luar negeri bisa menerima biji nikel berkadar di bawah 1,8% dengan harga yang menguntungkan. Para penambang tidak bisa lagi melakukan ekspor biji nikel low grade ini karena pemerintah sudah menyetop ekspor biji nikel sejak 1 Januari lalu.

Akibatnya penyetopan ini, ungkapnya, ada sekitar 3,8 juta ton kontrak ekspor biji nikel kadar 1,7% yang kini dalam kondisi idle di 7 provinsi di Indonesia.

Meidy memperkirakan bila smelter di dalam negeri hanya bisa menerima biji nikel kadar tinggi, dalam waktu lima tahun ke depan smelter-smelter itu bakal tutup karena kehabisan bahan baku.

“Pertanyaan bisa enggak smelter terima di bawah 1,8%? Sangat amat bisa. Buktinya kita ekspor kemarin 1,65 semua diterima. Malah berbondong-bodong buyer datang,” ujarnya.

Masalah kedua yang dihadapi oleh penambang nikel adalah soal harga. Menurut Meidy, kalau pun penambang menjual nikel kadar tinggi sesuai permintaan smelter, masalahnya adalah harga yang diterima lebih rendah dibandingkan dengan di pasar ekspor.

Baca Juga :   ANTAM Ungkap Pertumbuhan Produksi dan Penjualan Bijih Nikel dan Feronikel

Padahal, menurut dia, dengan menjual di pasar domestik, mestinya penambang nikel diuntungkan karena tidak ada biaya logistik dan pajak ekspor.“Tetapi kenapa pada saat smelter sudah berdiri di sini, kami semakin terpuruk dan kami semakin jatuh, semakin rugi dan semakin habislah,”ujarnya.

Menurutnya, harga biji nikel kadar 1,8% yang diterima oleh smelter di dalam negeri jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar ekspor. Ia menggambarkan harga Free on Board (FOB) biji nikel kadar 1,8% sekitar US$ 60 per ton. Sebelum penguasha tambang mengirimkan biji nikelnya, mereka wajib membayar berbagai pungutan ke negara yang berdasarkan Harga Patokan Mineral (HPM) Januari 2020 sebesar US$ 30 per ton.

Sementara di dalam negeri, biji nikel kadar 1,8% diterima oleh smelter pada harga hanya setara dengan US$ 18 dollar-US$ 26 per ton. “Harga US$ 26, kemudian diptong biaya bongkar, biaya muat, biaya surveyor, biaya tongkang habis juga,” ujarnya.

Masalah lain tambah Meidy adalah surveyor yang mengecek kadar biji nikel tersebut berasal dari pihak smelter. Padahal mestinya menggunakan surveyor yang direkomendasikan oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian agar tidak ada manupulasi hasil.

Baca Juga :   Buru Peluang Baterai Mobil Listrik, Pelarangan Ekspor Nikel Maju 2020

Tetapi, “sampai di smelter lantas menggunakan surveyor lain. Ujung-ujungnya kadarnya di-reject,” ujarnya.

Karena itu, Asosiasi meminta pemerintah untuk turun tangan, tidak membiarkan tata niaga perdagagan nikel domestik ini pada proses business to business (B2B). “Kalau memang mau B2B tolong jangan bebankan kami kewajiban untuk bayar pajak, kewajiban royalti, PPh berdasarkan HPM [harga patokan mineral], tetapi berdasarkan kontrak. Itu mungkin baru fair,” ujarnya.

Leave a reply

Iconomics