Banyak Kasus, Ada Apa dengan Industri Jasa Keuangan Indonesia?

0
413
Reporter: Petrus Dabu

Fathan Subchi tak habis pikir. Pengaduan dari nasabah industri keuangan silih berganti datang ke komisi XI DPR RI dimana ia menjadi salah satu pimpinannya.

Satu kasus belum selesai, muncul lagi kasus yang baru. “Ini ada apa yang salah dengan pasar keuangan kita? Kenapa kok situasinya memburuk, apakah karena terseret Jiwasraya atau karena ada yang salah dengan dengan pengawasan?” ujar Wakil Ketua Komisi XI ini dalam sebuah diskusi daring, Selasa (15/9).

Fathan menyebutkan sejumlah kasus mulai dari industri asuransi, investasi hingga perbankan. Di industri asuransi ia meyebut kasus gagal bayar AJB Bumiputera, kemudian Jiwasraya, dan Kresna Life. Di Kresna Life, Fathan menyebut akumulasi kerugian nasabah mencapai Rp6 triliun.

Kasus lainnya di industri asuransi adalah kasus WanaArtha Life. Kasus ini merupakan imbas langsung dari kasus Jiwasaraya. Karena rekening efek WanaArtha diblokir Kejaksaan Agung, sejak Februari lalu, WanaArtha tak bisa melakukan pencairan polis yang sudah jatuh tempo. Selain itu, WanaArtha juga tidak membayar Manfaat Tunai 50% dari masa Maret 2020 sampai saat ini.

Tak hanya di industri asuransi, di pasar modal juga terjadi sejumlah kasus. “Kayak Minna Padi misalnya, ada 5.000 nasabah dengan aset sekitar Rp7 triliun,” ujarnya.

Baca Juga :   Anggota Komisi XI Minta Pemerintah Utamakan UMKM Dalam Hadapi Ancaman Resesi

Terbaru, kata Fathan, Komisi XI juga baru menerima pengaduan dari nasabah Narada Investment. Ia mengungkapkan kerugian dari kasus Narada ini mencapai Rp9 triliun.

Kasus Minna Padi Aset Manajemen bermula dari likuidasi terhadap enam reksa dana perusahaan itu yang dilakukan OJK pada November 2019. Enam reksa dana tersebut adalah RD Minna Padi Pringgondani Saham, RD Minna Padi Pasopati Saham, dan RD Syariah Minna Padi Amanah Saham Syariah, RD Minna Padi Hastinapura Saham, RD Minna Padi Property Plus, dan RD Minna Padi Keraton II.

Likuidasi dilakukan karena ditemukan dua reksa dana yaitu RD Minna Padi Pasopati Saham dan RD Minna Padi Pringgondani Saham menjanjikan imbal hasil pasti yaitu 11% untuk jangka waktu 6 bulan-12 bulan. Padahal, produk reksa dana bukanlah deposito yang memberikan imbal hasil pasti.

“Pelanggaran Minna Padi, …karena menjual produknya dengan janji pasti untung. Itu dilarang di pasar modal. Setahu saya di industri jasa keuangan tidak boleh menjanjikan imbal hasil pasti,” ujar Hoesen, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK saat rapat dengar pendapat di Komisi XI yang juga dihadiri nasabah pada 25 Agustus lalu.

Masalahnya menjadi kian rumit karena Minna Padi Aset Manjamen tidak membayarkan kewajibannya kepada nasabah. Nasabah Minna Padi pun mempertanyakan keberadaan OJK. “OJK sudah diberikan kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar oleh Negara sebagai regulator, supervisor dan eksekutor dalam hal keuangan dengan tujuan untuk melindungi masyarakat/konsumen. Sudah jelas MP (Minna Padi) yang bersalah, dikenakan sanksi, jadi harusnya MP bertanggung-jawab dan bukan menjadikan nasabah sebagai korban. Maka nasabah meminta tanggung jawab nyata dari OJK sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat OJK sendiri,” tulis nasabah Minna Padi dalam keterangan tertulis kepada Iconomics, beberapa waktu lalu.

Baca Juga :   OJK: 5,3 Juta Debitur Bank dengan Kredit Senilai Rp 517,2 T Telah Direstrukturisasi

Lantas mengapa OJK tak punya ketegasan? Fathan mengatakan lembaga yang berdiri tahun 2011 ini berada dalam kondisi ambivalen, antara kepentingan investor dan menjaga kondusifitas pasar. Sikap yang terlampaui tegas terhadap pelaku pasar yang ‘nakal’ dikhawatirkan akan menganggu kondusifitas pasar. Menurut Fathan OJK mesti merumuskan bagaimana menjaga keseimbangan antara dua kepentingan ini.

“Karena begitu Anda tidak tegas maka kejadiannya seperti ini. Industri asuransi, industri investment gagal total,” ujarnya.

Masalah yang sama juga kata Fathan terjadi di sektor perbankan. “Misalnya saya tanya bank Muamalat bagaimana? Mereka juga ada ambivalensi-ambivalensi, yang saya kira kita harus pahami itu,” ujarnya.

Tetapi persoalannya apakah kondisi ini dibiarkan terus terjadi? Fathan mengatakan bila dibiarkan terus, maka kepercayaan publik teradap industri jasa keuangan akan runtuh.

Aviliani, Ekonom Indef mengatakan sejumlah kasus yang terjadi di industri keuangan bisa diatasi dengan mengembangkan market conduct. Isunya menurut dia bukan lagi pada perubahan regulasi seperti mengembalikan pengawasan bank ke Bank Indonesia.

“Kalau sekarang ini banyak kejadian-kejadian (kasus) itu lebih kepada market conduct. Jadi yang mesti dikembangkan ke depan justru menurut saya bukan regulasinya tetapi justru market conduct. Market conduct inilah yang perlu diperhatikan oleh regulator karena di sinilah sebenarnya perlindungan terhadap masyarakat di dalam entah itu menempatkan dana di perbanakan, di asuransi, mapun di lembaga-lembaga keuangan lain,” ujarnya.

Baca Juga :   Tata Kelola Industri Asuransi, OJK: Aturan Sudah Banyak, Masalahnya...

Market conduct adalah perilaku pelaku usaha jasa keuangan  dalam mendisain, menyusun, dan menyampaikan informasi, menawarkan, membuat perjanjian, atas produk dan/atau layanan serta penyelesaian sengketa dan penanganan pengaduan.

Fathan sepakat dengan Aviliani. Menurutnya, bukan lagi perubahan regulasi yang diperlukan saat ini, tetapi penyusunan market conduct. “Saya kira memang market conduct ini yang kita pelototi bersama. Sehingga kita nanti menghasilkan suatu situasi pasar keuangan yang kondusif, yang adil yang bisa memberikan rasa aman bagi konsumen,” ujar Fathan.

 

Leave a reply

Iconomics