BKF: Skema Burden Sharing Pemerintah dan BI Jadi Perhatian Global

0
230
Reporter: Yehezkiel Sitinjak

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyebut skema burden sharing dengan Bank Indonesia(BI) merupakan suatu inovasi kebijakan yang menarik perhatian global. Dunia melalui media massa internasional seperti Bloomberg memperhatikan inovasi kebijakan di bidang makro ekonomi sedang berlanjut di Indonesia dan bukan terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Jepang.

“Ini sesuatu yang layak kita angkat bahwa kebijakan-kebijakan kreatif yang dilakukan oleh pemimpin kita betul-betul ekstra hati-hati dan dipelajari juga oleh banyak orang di global,” kata Kepala BKF Febrio Nathan Kacaribu di acara diskusi secara daring, Jakarta, Jumat (17/7).

Kebijakan burden sharing ini, kata Febrio, merupakan hasil dari koordinasi yang erat antara kebijakan fiskal dan moneter. Dalam situasi extraordinary karen wabah Covid-19 ini, pemerintah dan bank sentral mempunyai visi yang sama untuk mencegah krisis makro ekonomi dan menjaga kestabilan perekonomian domestik.

Seperti diketahui, pemerintah dengan BI menyepakati skema burden sharing dalam tujuan pembiayaan pelebaran defisit APBN untuk menangani dampak pandemi yang mencapai 6,34% dari PDB atau senilai Rp 1,039 triliun pada 2020.

Baca Juga :   BI Catat Aliran Dana Modal Asing Naik Dalam 2 Pekan Pertama Mei 2020

Melalui skema ini, BI akan menanggung penuh beban bunga terhadap surat utang yang dikeluarkan pemerintah untuk pada harga pasar (market rate) untuk pembiayaan belanja pemerintah berkategori public goods seperti anggaran kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral, kementerian/lembaga (K/L), dan pemerintah daerah yang mencapai Rp 397,60 triliun.

Dalam hal ini, BI akan membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah secara langsung melalui private placement dengan surat utang yang dikeluarkan pemerintah akan menggunakan market rate sehingga dapat diperdagangkan (tradeable).

Selain itu, kata Febrio, BI juga menanggung beban utang sebagian untuk belanja non-public goods khusus UMKM dan korporasi non-UMKM sebesar Rp 177,03 triliun. Untuk pembiayaan non-public goods, pemerintah hanya perlu menanggung beban bunga sekitar 3,2% hingga 3,3% dari bunga pasar sekitar 7%, sementara BI akan membiayai sisanya.

“Katakanlah itu sekitar Rp 20 triliun, itu sekitar 0,15% dari PDB, itu terasa. Dan di situ kita melihat, kita tunjukkan ke pasar bahwa otoritas moneter dan kebijakan fiskal go hand in hand. Punya visi sama dan kalkulasi risiko secara bersama,” kata Febrio.

Baca Juga :   Paripurna DPR Sahkan Perry Warjiyo sebagai Gubernur BI Kedua Kalinya

Kata Febrio, pemerintah bersama dengan bank sentral telah mempertimbangkan risiko kebijakan tersebut secara hati-hati. Terlebih, pemerintah sangat memperhatikan integritas pasar obligasi negara. Adapun 80% dari total utang pemerintah ada dalam bentuk surat utang.

“Jadi yang menjadi concern utama adalah kalau pemerintah melakukan ini tapi integritas pasar terganggu yang akan rugi adalah pemerintah sendiri. Kalau kebijakan ini dilakukan tidak hati-hati yang bahaya adalah pasar obligasi pemerintah itu sendiri,” kata Febrio.

“BI juga melihat ini kira-kira akan mengganggu pasar obligasi atau tidak. Kalau instrumennya itu tidak eligible dilakukan maka kebijakannya tidak efektif.”

 

 

 

 

 

 

Leave a reply

Iconomics