Indonesia Optimistis Menangkan Gugatan Diskriminasi Sawit UE, Kalau Kalah Tempuh Retaliasi

0
554

Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional Lain di Jenewa, Hasan Kleib/Gapki

Pemerintah Indonesia telah melayangkan gugatan kepada World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia karena diskriminasi sawit dari Indonesia pada Desember 2019 lalu. Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan organisasi internasional lain di Jenewa, Hasan Kleib optimistis dapat memenangkan gugatan tersebut.

“Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mengangkat isu RED II sebagai isu specific trade concern pada pertemuan-pertemuan di WTO, sayangnya ketika diintervensi EU selalu menyatakan kebijakan RED II sudah sesuai aturan WTO,” kata Hasan Kleib saat webinar #INApalmoil talkshow bertajuk “Palm Oil and Neocolonialism” yang digelar Gapki.

Menurut Hasan, kalau Indonesia menang maka Uni Eropa (UE) harus mencabut. Sebaliknya bila Indonesia kalah, Indonesia bisa melakukan pengajuan retaliasi. Bentuknya bisa berupa peningkatan tarif masuk kepada produk-produk UE yang masuk ke Indonesia.

“Prospeknya, jika Indonesia memenangkan gugatan ini maka Uni Eropa harus mengubah kebijakan RED II, DR serta French Fuel Tax seusai dengan aturan yang berlaku di WTO. Jika Uni Eropa tidak dapat memenuhi ini dalam tenggang waktu yang disepakati, maka Indonesia berhak mengajukan izin retaliasi,” tegas Hasan.

Baca Juga :   TMMIN Gandeng UGM Riset Biodiesel Sawit Sampai Robot Industri

Sebagaimana kita ketahui bersama, kebijakan Parlemen Uni Eropa yang tertuang dalam Renewable Energy Directive II (RED II) yang berlaku pada 2019 lalu dianggap sebagai langkah politis yang mendiskriminasi sawit Indonesia. Di dalam RED II, sawit Indonesia dinyatakan tidak dapat memenuhi standar UE karena menyebabkan deforestasi dan high risk indirect land Usechange (ILUC) atau berisiko tinggi atas perubahan lahan tidak langsung. Berlakunya RED II jelas mengganjal ekspor biofuel berbahan sawit dari Indonesia ke negara-negara UE.

Hasan menilai Indonesia perlu memperkuat diri dalam diplomasi sawit. Perlu informasi-informasi positif yang dikembangkan terkait dampak positif langsung maupun tidak langsung sawit bagi sosial, perekonomian maupun lingkungan. Selain itu penguatan data perlu terus dikembangkan agar menjadi landasan kuat dalam diplomasi melawan diskriminasi Uni Eropa tersebut.

Ia menyarankan agar Indonesia merespons negative campaign yang digulirkan oleh Uni Eropa  dengan mengkampanyekan sisi-sisi positif dari sawit. Indonesia harus secara terus menerus menonjolkan kebaikan sawit. Misalkan mengenai efisiensi luas lahan yang dibutuhkan untuk mendapatkan jumlah panen yang sama antara produk sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.

Baca Juga :   Isu Sawit Jadi Kunci Kemitraan Dagang Asean-Uni Eropa

RED II melarang penggunaan biofuel berbasis sawit karena telah dikategorikan sebagai risiko tinggi perubahan penggunaan lahan tidak langsung pada DR. Kategori ini ditentukan berdasarkan indikator emisi yang dihasilkan dalam perubahan penggunaan lahan dengan menjatuhkan cut off date atau tahun penebangan yakni pada tahun 2008. Wakil Ketua Umum I GAPKI, Kacuk Sumarto dalam sambutannya menyatakan cut off date yang ditetapkan oleh Uni Eropa dalam ILUC yakni tahun 2008 yang dianggap tidak adil dan tidak memiliki dasar ilmiah. pada masa tersebut Indonesia sedang mengembangkan industri perkebunannya, salah satunya sawit sedangkan Amerika dan Eropa telah lebih dulu melakukan deforestasi.

Senada dengan Kacuk, laju deforestasi yang isunya disebabkan oleh industri kelapa sawit tidaklah sesuai. Guru Besar Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor (IPB) Prof. Yanto Santosa mengungkapkan kajian Komisi Eropa tahun 2013 yang menjelaskan total deforestasi lahan seluas 239 juta hektar. Sebanyak 58 juta hektar diantaranya disebabkan oleh sektor peternakan, 13 juta hektar oleh pembukaan lahan kedelai dan 8 juta karena pembukaan lahan jagung. Sementara itu, untuk industri sawit menyumbang 2,5% atau 6 juta hektar.

Leave a reply

Iconomics