Keuangan Garuda Indonesia ‘Crash’ Karena Covid – 19 Bagaimana Memulihkannya?

0
1668
Reporter: Petrus Dabu

Industri penerbangan sangat terpukul karena pandemi Covid-19. Direktur PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), Irfan Setiaputra mengatakan pendapatan maskapai penerbangan plat merah ini turun 90% karena pandemi, sementara di sisi lain biaya operasional hanya bisa berhasil ditekan sebesar 60%. Dus, masih ada gap yang lebar antara pendapatan dan beban operasional.

Per 1 Juli 2020, cash flow Garuda Indonesia hanya sebesar US$14,7 juta. Sementara jumlah beban utang mencapai US$2,2 miliar yang terdiri atas pinjaman ke bank dan lembaga keuangan sebesar US$1,3 miliar dan utang usaha dan pajak sebesar US$905 juta dollar.

Irfan mengatakan sejumlah inisiatif yang telah dilakukan Garuda Indonesia untuk menekan biaya operasional. Pertama, melakukan upaya restrukturisasi sewa pesawat. Irfan mengatakan pihaknya melakukan negosiasi dengan lessor untuk menurunkan harga sewa pesawat.

Kedua, rasionalisasi dari segi personalia. Garuda menerapkan kebijakan cuti di luar tanggungan (unpaid leave) kepada 800 karyawan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kemudian Garuda juga menawarkan pensiun dini kepada karyawan berusia di atas 45 tahun. “Sampai saat ini hampir sudah mencapai 400 orang yang bersedia secara sukarela mengikuti program pensiun dini tersebut,” ujar Irfan saat Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (14/7).

Dari sisi personalia, Garuda juga melakukan pemotongan secara signifikan gaji take home pay dari jajaran direksi dan komisaris sejak April 2020 sebesar 10% hingga 50%. Makin tinggi pangkat, makin besar potongan gaji.

Garuda juga melakukan percepatan kontrak dengan beberapa pilot kontrak (PWKT). “Ini sekitar 135 orang,” ujar Irfan.

Baca Juga :   Satu Kreditur Keberatan, Majelis Hakim Tunda Pengesahan Homologasi  dalam PKPU Garuda Indonesia

Selain dari sisi personalia, di internal Garuda Indonesia, juga melakukan efisiensi yang diperkirakan hingga akhir tahun sebesar US$67 juta.

Selain berbagai inisiatif jangka pendek, Irfan menjelaskan, Garuda Indonesia juga merancang inisiatif jangka panjang.

Sejumlah inisiatif jangka panjang yang dirancang Garuda Indonesia diantaranya, pertama: optimalisasi pendapatan non penumpang yaitu dari kargo dan charter.

Kedua, untuk penerbangan internasional Garuda Indonesia menerpakan hard block strategy. “Kita sedang tawarkan ke banyak pihak, apakah berkenan untuk bekerja sama dengan Garuda dengan model hard block strategy,” ujar Irfan.

Hard block strategy, jelas Irfan, Garuda bekerja sama dengan pihak ketiga. Saat Garuda terbang ke suatu kota, isi pesawat semuanya sudah ditentukan oleh pihak ketiga tersebut. “Kita berharap pihak ketiga tersebut mempunyai keahlian yang lebih mendalam dalam urusan memastikan penumpang dari luar negeri, bukan dari dalam negeri, justru dari luar negeri. Karena ini yang kita harapkan Garuda lebih banyak fokus menerbangkan penumpang wisatawan luar negeri dari pada membawa penumpang Indonesia keluar,” ujar Irfan.

Selain hard block strategy, Garuda Indonesia juga melakukan code-share dan interline agreement. Saat ini penerbangan internasional Garuda terbatas hanya ke Amsterdam dan Jepang. Untuk mendapatkan penumpang yang banyak, Garuda menawarkan paket penerbangan ke semua negara di Eropa dan Amerika Serikat. Untuk itu Garuda saat ini bekerja sama dengan KLM, maskapai penerbangan nasional Belanda dan Delta Air Lines, maskapai penerbangan yang berbasis di Atlanta, Amerika Serikat.

Baca Juga :   Garuda Indonesia Catatkan Pertumbuhan Lalu Lintas Kargo Internasional Hingga 89,66%

“Kita berharap dengan codeshare ini dan sudah kita tawarkan di website, memungkinkan siapa pun untuk terbang ke suatu kota di Eropa lewat Amsterdam, kerja sama dengan KLM dan ke Amerika lewat Jepang bekerja sama dengan Delta,” jelas Irfan.

Strategi jangka panjang lain yang dirancang Garuda adalah optimalisasi pendapatan umroh. Untuk itu Garuda berencana membuka penerbangan langsung dari sejumlah kota di Indonesia seperti Palembang, Surabaya, Makasar dan Padang ke tanah suci. “Kami juga berdiskusi dengan Kementerian Agama untuk lebih banyak fokus direct flight ke Arab,” ujar Irfan.

Strategi lainnya adalah melakukan restrukturisasi sewa pesawat dengan cara memperpanjang jangka waktu penggunaan pesawat, menurunkan sewa pesawat dan menterminasi kontrak sewa pesawat yang tidak produktif dan tidak cocok untuk Garuda.

Butuh Pembiayaan Rp9,5 Triliun

Namun, Irfan mengatakan berbagai inisiatif tersebut belum cukup untuk menutupi gap antara biaya operasional dan penurunan pendapatan akibat pandemi Covid-19.

“Kita harus mengakui ada kebutuhan sebesar Rp9,5 triliun dimana kebutuhan dana pinjaman dari pemerintah saat ini yang kita harapkan adalah sebesar Rp8,5 triliun,” ujarnya.

Sedangkan sebesar Rp1 triliun lainnya berasal dari fasilitas program expo yang diharapkan cair pada Juli 2020 ini.

Sambil menunggu pencairan dana talangan Rp8,5 triliun dari pemerintah, yang diharapkan dilakukan pada tahun 2020 ini juga, Garuda Indonesia meminjam sebesar US$220 juta atau sekitar Rp3,2 triliun dari Bank Himbara sebagai bridging.

Untuk dana talangan Rp8,5 triliun, Irfan mengatakan pihaknya mengusulkan strukturnya adalah Mandatory Convertible Bond (MCB). “Kita harapkan turunnya 2020 dan sebagai stand buy buyer-nya pemerintah dan atau SMI,” ujarnya.

Baca Juga :   Layanan Kargo Farmasi Garuda Mendapat Sertifikat ‘Good Distribution Practice’

Skema MCB dengan tenor tiga tahun dipilih untuk memberikan kesempatan kepada manajemen memperbaiki fundamental perusahaan.

“Adalah penting buat manajemen untuk memastikan kita punya cost structure dan fundamental revenue yang lebih kuat ke depannya dan memastikan bahwa perusahaan ini bisa bersaing dan bisa menghasilkan laba yang memadai,” ujarnya.

Jangka waktu tiga tahun dipilih mempertimbangkan pemulihan akibat pandemi ini membutuhkan waktu tiga tahun. Selain itu, jangka waktu tiga tahun ini juga sengaja dipilih untuk mendorong manajemen bekerja maksimal untuk bisa mengembalikan dana talangan tersebut.

Setelah jatuh tempo tiga tahun, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Pertama, Garuda bisa membayar dengan asumsi pendapatan perusahaan kembali pulih seperti tahun 2019.

Kedua, dengan asumsi tahun 2023 kondisi pasar sudah membaik, memungkinkan Garuda memperoleh pinjaman untuk menutupi MCB.

Ketiga, convertible bonds ini dikonversi menjadi penempatan modal dan memberi kesempatan ke minority share holders yang lain untuk partisipasi juga pada saat itu.

Lebih lanjut Irfan mengatakan bila dana talangan dari pemerintah dicairkan kinerja keuangan Garuda akan kembali membaik pada tahun 2022. Tahun 2020 ini, dengan asumsi dana pinjaman dicairkan, maka Garuda akan mengalami rugi sebesar US$ 1 miliar lebih karena Garuda harus membayarkan bunga dana talangan dan bridging loan dari Himbara.

“Kita berharap di 2022 sudah positif EBIDA dan kita bisa membukukan net income positif itu di 2023,” ujarnya.

 

Leave a reply

Iconomics