Komisi XI: Tak Ada Dewan Moneter dan Pengalihan Fungsi Pengawasan Bank

1
193
Reporter: Petrus Dabu

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi memastikan independensi Bank Indonesia (BI) akan tetap dijaga dengan tidak membentuk lembaga baru Dewan Moneter. Demikian juga fungsi pengawasan bank tetap dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tidak dikembalikan ke Bank Indonesia.

Fathan mengakui memang pemerintah sedang membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) di sektor keuangan yang kemungkinan akan terbit pada September atau Oktober 2020.

“Cuma memang secara prinsip DPR meminta agar disosialisasikan dulu. Istilahnya diberikan kisi-kisi awal. Dan kita menangkap bahwa memang, saya tegaskan tidak ada Dewan Moneter dan tidak ada perubahan kelembagaan, keweangan OJK tetap, kewenangan BI juga tetap,” ujar Fathan dalam sebuah diskusi daring, Selasa (15/9).

Wacana pembentukan Dewan Moneter muncul bersamaan dengan rencana revisi Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang saat ini sedang dilakukan oleh DPR RI. Dalam draf revisi yang beredar, ada rencana pembentukan lembaga baru di bidang moneter yaitu Dewan Moneter. Keberadaan lembaga ini dikhawatirkan menggerogoti independensi Bank Indonesia (BI) dalam membuat kebijakan moneter sebab lembaga tersebut juga diisi oleh unsur dari pemerintah.

Baca Juga :   Ketua PHRI: Kebijakan QE Tidak Cocok Diterapkan Dalam Pandemi Covid-19

Bersamaan dengan rencana revisi Undang-Undang BI ini, berkembang juga wacana untuk mengembalikan fungsi pengawasan bank – yang sejak 2011 menjadi kewenangan OJK – ke Bank Indonesia.

Untuk Perppu sendiri, menurutnya, salah satu yang masalah yang mau dipecahkan adalah soal pencairan fasilitas pinjaman jangka pendek untuk bank di BI yang dianggap rumit oleh pemerintah.

“Ada 12 item yang harus dipenuhi. Nah itu dianggap lamban oleh pemerintah,”ujarnya.

Selain itu, kemungkinan ada penguatan Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI). “Mungkin ditingkatkan peranannya, kebijakannya atau apanya supaya BSBI bisa memberikan suatu atensi-atensi atau penguatan-penguatan di Bank Indonesia,” ujarnya.

Kemudian untuk OJK, penguatan yang dilakukan adalah diperlukan badan pengawas yang bisa mensupervisi dan memandu langkah-langkah OJK.

Hal lain adalah soal kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang selama ini hanya bisa menanangani bank yang sudah dianggap gagal. LPS nantinya akan masuk lebih awal yaitu ketika bank masih dalam status bank dalam pengaawasan itensif dan bank dalam pengawasan khusus.

Baca Juga :   Bank Indonesia: Ada 5.066 Titik Penukaran Uang, Simak Lokasi dan Waktunya

“Perppu ini tidak seserem yang dibayangkan, tidak ada Dewan Moneter, kemudian kelembagaan masih oke untuk itu, kemudian masukan untuk penguatan LPS dimana LPS bisa masuk yang namanya bank yang diindikasikan bermasalah atau bank dalam pengawasan intenisif,” ujarnya.

Ketika bank masuk dalam pengawasan intentif atau terindikasi bermasalah, LPS sudah bisa melakukan intervensi dengan memberikan pinjaman. Namun, tambah Fathan, OJK tidak berani sendirian yang menentukan suatu bank dalam kondisi tersebut dan layak untuk diberikan pinjaman.

OJK, katanya, meminta peran serta Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) – pemerintah, BI, OJK, LPS- plus Badan Pemeriksa Keuangan.

“Karena kalau goverment semua nanti repot, BPK yang melakukan audit bank ini membutuhkan intervensi, butuh pinjaman likuditas. Itu yang mungkin nanti masih perdebatan di kita, apakah kriteria-kriteria itu bisa kita sepakati. Artinya tidak ada lembaga tunggal yang mengatakan ini harus butuh interevensi atau tidak. Karena kita belajar dari krisis 98, kita menghindari moral hazard,” ujarnya.

1 comment

  1. Bede 17 September, 2020 at 14:11 Reply

    Persoalan independensi OJK lantaran anggaran belanja tahunannya didapat dr iuran tahunan anggota/perusahaan2 di sektor jasa keuangan, bukan dr APBN; kok tdk dibahas?

Leave a reply

Iconomics