Realisasi Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional Baru 21,8%

0
435
Reporter: Petrus Dabu

Pemulihan ekonomi nasional (PEN) pasca kontraksi 5,32% pada triwulan kedua 2020, salah satunya tergantung pada belanja pemerintah yang mengalokasikan anggaran Rp695,2 triliun. Namun, hingga minggu pertama Agustus ini, realisasi anggran PEN ini baru baru mencapai 21,8% dari pagu.

Lambannya realisasi anggaran ini salah satunya terjadi karena desain program yang terlalu kompleks untuk memenuhi asas akuntabilitas dan mencegah terjadinya penyalahgunaan (moral hazard).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan Rp695,2 triliun anggaran PEN itu, sebanyak Rp313,2 triliun sudah memiliki dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA). Sedangkan, sebanyak Rp155,9 triliun tidak memerlukan DIPA karena berupa insentif pajak sebanyak Rp155,9 triliun. Kemudian yang belum memiliki DIPA masih sebanyak Rp226,1 triliun.

“Total realisasi sampai dengan minggu pertama Agustus adalah Rp151,25 triliun  atau 21,8% dari pagu program pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya saat konferensi pers di Jakarta, Senin (10/8).

Ada pun rincian anggaran yang sudah direalisasikan itu adalah kesehatan sebesar Rp7,1 triliun dari pagu Rp87,35 triliun atau sekitar 8,13%. Kemudian belanja perlindungan sosial sudah terealisasi sebanyak Rp86,5 triliun dari pagu Rp203,91 triliun atau 42,42%.

Baca Juga :   Menjadi Negara Berpendapatan Tinggi di 2045, Ini yang Perlu Disiapkan Indonesia

Belanja untuk sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terealisasi sebanyak Rp8,6 triliun dari pagu sebesar Rp106,05 triliun atau 8,11%.

Kemudian, anggaran dukungan untuk UMKM sudah terealisasi sebanyak Rp32,5 triliun dari pagu Rp123,47 triliun atau 26,32%. Anggaran insentif usaha terealisasi sebanyak Rp16,6 triliun dari pagu  Rp120,61 triliun atau 13,76%. Sedangkan anggaran untuk pembiayaan korporasi belum terealisasi sama sekali dari pagu sebesar Rp53,37 triliun.

Meski secara keseluruhan penyerapan baru 21,8%, Sri Mulyani mengatakan tren penyerapan sudah mulai ada peningkatan. “Dimana kita juga telah memutuskan bahwa seluruh program-program terutama yang berhubungan dengan bantuan sosial sudah diperpanjang hingga Desember. Kita juga sudah mempercepat proses usulan baru dari berbagai macam kluster, dari mulai kesehatan, UMKM, bansos dan juga dari sektoral serta pemerintah daerah,” ujarnya.

Pemerintah, tambahnya, juga melakukan redesain untuk program yang tidak mengalami peningkatan pelaksanaan dan mendapatkan halangan yang cukup besar karena berbagai hal. “Maka kita melakukan perubahan desainnya agar dampak dari penanganan Covid dan pemulihan ekonomi itu bisa betul-betul maksimal di dalam pemulihan ekonomi kita,” ujarnya.

Baca Juga :   Alasan Dibalik Sri Mulyani Jadi Finance Minister of the Year for East Asia Pacific 2020

Selain itu, pemerintah juga mempercepat dan menyederhanakan proses-proses birokrasinya.

Sri Mulyani mengakui dalam pelaksanaan program-program ini kelihatan sekali dalam suasana kedaruratan bila programnya simple, akan lebih mudah diimplementasikan. Namun, bila programnya dibuat sangat kompleks, akan sangat sulit dijalankan terutama ditambah dengan ancaman Covid-19.

“Kita mengalami bahwa birokrasi sering melakukan langkah-langkah yang tujuannya mungkin mengamankan dari sisi akuntabilitas namun kemudian menimbulkan kompleksitas dalam perumusan kebijakan dan desain kebijakannya. Sehingga mulai terlihat bahwa untuk bisa mencari bukti pengeluaran dilakukan berlapis-lapis persyaratan yang itu kemudian menimbulkan kesulitan di dalam melaksanakan program,”ujarnya.

Selain itu, terkait program bantuan sosial agar lebih akurat maka perlu perbaikan database di Kementerian Sosial yang menghimpun semua penduduk yang merupakan target dari bantuan sosial. Data tersebut, menurutnya perlu untuk terus diperbaharui. “Di sinilah pentingnya kalau datanya ada akan lebih memudahkan kita di dalam melaksanakan emergency policy,” ujarnya.

Untuk program pemulihan ekonomi, jelasnya, karena ada peringatan terkait akuntabilitas dan moral hazard, maka desain kebijakan dibuat dengan sangat hati-hati dan cenderung menjadi kompleks. “Di satu sisi, kita ingin tetap akuntable dan menjaga tidak terjadinya penyalahgunaan atau moral hazard, namun di sisi lain kemudian menimbulkan kompleksitas desain kebijakan yang kemudian pelaksanaannya menjadi tidak terjadi secara cepat,” ujarnya.

Baca Juga :   Kemenkeu Sedang Rumuskan Flexible Working Space dan WFH Permanen

 

Leave a reply

Iconomics