Sektor Pariwisata Rugi Triliunan karena Covid-19, Insentif Pemerintah Justru Dinilai Membebani

0
802
Reporter: Yehezkiel Sitinjak

Ketua PHRI Hariyadi Sukamdani/PHRI

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut seluruh sektor pariwisata mulai dari perhotelan, restoran, penerbangan hingga operator tour, mengalami kerugian luar biasa akibat dampak pandemi Covid-19.

Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan, sektor pariwisata mengalami kerugian hingga triliunan rupiah pada April 2020. Sektor perhotelan, misalnya, merugi sekitar Rp 30 triliun, sektor restoran sekitar Rp 40 triliun, maskapai penerbangan sekitar US$ 812 juta, dan tour operator hingga Rp 4 triliun.

“Mayoritas hotel mengalami kerugian keuangan, mereka negatif semua dan cadangan modal kerja di sektor hotel mulai habis. Untuk restoran sama dengan hotel yang sedikit berbeda untuk restoran yang beroperasi di mal, ada beban operasional besar karena mal sulit memberikan potongan sewa ruangan sesuai dengan kemampuan cashflow penyewa,” kata Hariyadi saat rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Jakarta, Selasa (14/7).

Merosotnya cashflow perusahaan di industri pariwisata, kata Hariyadi, telah membawa dampak luas kepada ketenagakerjaan, di mana sebanyak 95% dari karyawan telah dirumahkan atau dicutikan di luar tanggungan perusahaan. Dari angka tersebut, jumlah karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) masih relatif sedikit.

Baca Juga :   Stimulus Fiskal Selepas Pandemi Covid-19 Harus Berbasis Ekonomi Hijau

Itu disebabkan berkurangnya operasional usaha secara drastis karena menurunnya permintaan akibat dampak pandemi Covid-19 serta regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang membatasi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Menurut Hariyadi, lebih dari 2.000 hotel telah menutup operasi mereka, sementara sebanyak 8.000 restoran juga tutup.

Kendati pemerintah telah mengeluarkan berbagai stimulus untuk membantu dunia usaha agar dapat bertahan hidup dalam situasi sekarang, menurut Hariyadi, salah satu insentif yang dikeluarkan pemerintah dapat meningkatkan beban perusahaan-perusahaan di sektor pariwisata, yaitu insentif pemotongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 sebesar 30%.

Hal tersebut, kata Hariyadi, justru memberatkan industri pariwisata di situasi saat ini karena seharusnya 95% dari sektor pariwisata tidak perlu membayar pajak tersebut karena akan mencatat kerugian pada buku tahun 2020 ini. Namun, dengan penetapan PMK Nomor 44/2020 yang memberikan potongan 30% terhadap PPh 25, maka perusahaan-perusahaan diwajibkan untuk membayar sisa 70% dari pajak PPh 25 tersebut berdasarkan kinerja buku tahun sebelumnya.

“Jadi kalau tahun lalu untung Rp 1,2 miliar maka kita kalau dalam kondisi normal harus bayar Rp 100 juta, jadi dicicil. Kita diberikan potongan 30% dan ibaratnya kita harus bayar Rp 70 juta padahal akhir tahun ini kita pasti rugi, jadi ini malah jadi beban. Karena kita makin bayar,” kata Hariyadi.

Baca Juga :   Pertemuan Golkar-PKB, Terbuka Peluang Kerja Sama pada Pemilu 2024

Selain itu, Hariyadi juga menilai bahwa insentif PPh 21 dan program Kartu Prakerja juga merupakan insentif atau bantuan dari pemerintah yang nyatanya belum tepat sasaran dalam situasi pandemi ini.

Leave a reply

Iconomics