AFPI: Kolaborasi Fintech P2P Lending dengan Perbankan Masih Terbuka

0
1335
Reporter: Yehezkiel Sitinjak

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menilai industri fintech peer-to-peer lending (P2P Lending) masih terbuka untuk berkolaborasi dengan industri perbankan. Terlebih model bisnis kedua industri ini sangat berbeda.

“Kita melihat bisnis model bank dan fintech lending sangat berbeda. Salah satu keypoint adalah bahwa yang namanya fintech lending adalah kami hanya sebuah platform, kami tidak melakukan penghimpunan dana, itu suatu perbedaan,” kata Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi saat menghadiri acara webinar secara virtual, Selasa (8/9).

Perusahaan P2P Lending bersifat sebagai platform yang mempertemukan lender (pemberi pinjaman) dengan borrower (peminjam). Sementara sebagai platform, perusahaan bertugas untuk melakukan assessment, due diligence, verifikasi dan melakukan adminsitrasi dan dokumentasi terhadap pengajuan pinjaman dari peminjam. Artinya perusahaan P2P Lending bukan merupakan pihak yang memberikan pinjaman secara langsung kepada peminjam.

Selain tidak menghimpun dana, kata Adrian, fintech lending menargetkan segmentasi pasar sangat spesifik dan fokus dibandingkan perbankan yang lebih mampu menggarap masyarakat luas. Semisal, ada fintech lending yang menyalurkan pinjaman ke berbagai macam segmen dari ibu-ibu rumah tangga (Amartha), pertanian (Tanifund), hingga supply-chain dan invoice (Investree).

Baca Juga :   Basmi Pinjol Ilegal, Kementerian Kominfo Moratorium Pendaftaran PSE Pinjaman Online

“Jadi sebagai perusahaan startup, pada saat kita mendirikan perusahaan kita terbatas dari sisi dana dan people. Jadi mau tidak mau kita harus membidik ke satu segmen spesifik dan melakukan customer transformation journey yang unik dan membuat customer tetap berulang kali bertransaksi dengan kami,” kata Adrian.

Menurut Adrian, saat ini industri fintech P2P Lending sedang fokus menyusun kolaborasi di antara mereka dan bisa termasuk dalam suatu ekosistem, baik dengan perbankan maupun dengan platform digital lainnya seperti e-commerce.

“Jadi sebenernya fintech lending tidak perlu di depan, bisa saja Bukalapak-nya di depan. Kita hanya memproses transaksi pendanaan merchants melalui Bukalapak, ini yang kita maksud dengan embedded ke dalam ekosistem,” kata Adrian.

Selain itu, kata Adrian, perbedaan besar lainnya antara fintech lending dengan perbankan adalah keterbatasan fintech yang tidak memiliki akses pada Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, AFPI telah membuat fintech data center di mana setiap penyelenggara platform lending wajib mengintegrasikan dan membagikan data terkait historical performance dari peminjam mereka.

Baca Juga :   Kolaborasi Polytron-Mola TV Siap Gebrak Pasar

“Tujuannya agar sesama fintech bisa cek apakah calon punya exposure ke fintech lain, dan memastikan atau menghindari over-leverage. Sampai hari ini sudah 80% dari anggota kami terkoneksi dengan fintech data center,” kata Adrian.

Biasanya, kata Adrian, bentuk kolaborasi antara bank dan fintech bisa terdiri atas 3 tahap. Berawal dari perkenalan antara bank dan fintech dan melakukan pilot project. Beberapa perbankan kini mempunyai lab khusus terkait potensi kolaborasi dengan fintech untuk menghasilkan solusi yang bisa digunakan.

“Kemudian tingkat lebih tinggi kerja sama, contohnya channeling menggunakan wide label. Kemudian lebih advanced adalah langsung invest di perusahaan fintech dengan memiliki suatu corporate venture capital sendiri yang invest di perusahaan fintech-nya,” katanya.

Sebagai informasi, per Juni 2020, AFPI mencatat total nilai pinjaman secara kumulatif yang telah disalurkan oleh industri fintech lending mencapai Rp 113,46 triliun atau naik 153,23% secara tahunan. Sementara jumlah peminjam pada platform kini telah mencapai 25 juta debitur.

Leave a reply

Iconomics