Gubernur BI Soroti Teknologi Digital, Kenapa?

0
92

Teknologi digital menjadi salah satu perhatian dari Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam pidato Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2019. Dalam pidatonya, dari lima karakteristik penting yang harus dicermati untuk memperkuat ketahanan dan pertumbuhan ekonomi nasional menuju negara maju berpendapatan tinggi, dua diantara membicarakan mengenai teknologi digital.

Dalam pidato Perry di Jakarta, Kamis (28/11/2019), ia menyebutkan digitalisasi ekonomi dan keuangan semakin semarak dengan berbagai manfaat dan risikonya. Fenomena menurunnya globalisasi dan meningkatnya digitalisasi seperti ini kemungkinan akan berlanjut pada 2020 dan tahun-tahun berikutnya.

Dalam poin keempat dari 5 karakteristik yang harus dicermati Indonesia, Gubernur BI menyebutkan digitalisasi ekonomi dan keuangan meningkat pesat. Cepatnya perkembangan teknologi digital yang luar biasa, mulai dari internet of things hingga articial intelligent (AI), blockchains, distributed ledger technology (DLT), dan robotic. Adapun pada industri jasa keuangan ada inovasi teknologi digital memunculkan perkembangan financial technology (fintech) yang pesat dalam sistem pembayaran maupun berbagai jasa keuangan seperti crowd-fundingpeer-to- peer lending, asuransi, dan wealth management.

Bisnis jasa keuangan seperti itu yang biasanya dilakukan oleh bank dan lembaga keuangan lainnya semakin dikembangkan dan diambil alih oleh fintech, memunculkan risiko shadow banking. Perry menyebutkan besarnya investasi dalam teknologi digital mendorong konsentrasi usaha dan memunculkan sejumlah perusahaan raksasa dunia, atau big tech. Mereka menguasai berbagai bisnis ekonomi dan keuangan digital di berbagai dunia. Bahkan, beberapa diantaranya menerbitkan virtual atau crypto-currency swasta yang menjadi kewenangan bank sentral. Lantas pertanyaannya, kebijakan apa yang perlu ditempuh agar pesatnya ekonomi dan keuangan digital tersebut sejalan dengan kepentingan nasional untuk menjadikannya sebagai sumber pertumbuhan ekonomi ke depan, termasuk dalam mempercepat inklusi ekonomi dan keuangan. Tidak hanya itu, risiko terjadinya konsentrasi penguasaan usaha dan data granular oleh big tech juga perlu diwaspadai karena dapat mengganggu persaingan usaha yang sehat dan menghambat inovasi.

Baca Juga :   BI dan Bank Sentral India Kerja Sama Sistem Pembayaran, Keuangan Digital hingga APU-PPT

Pada poin kelima dalam pidato Gubernur BI, Bank Indonesia menyoroti teknologi digital yang mengubah perilaku manusia, baik sebagai konsumen maupun tenaga kerja. Hal tersebut terjadi sejalan dengan jumlah penduduk milenial yang mencapai lebih dari 50% jumlah penduduk usia produktif Indonesia, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Badan Pusat Statistik (2018). Perry mengatakan milenial jauh lebih cepat dalam adopsi teknologi digital, termasuk dalam penggunaan telepon seluler maupun media sosial. Mereka menuntut produk dan pelayanannya yang murah, cepat, dan sesuai selera melalui transaksi ekonomi dan keuangan secara online daripada harus pergi ke toko, restoran, ataupun bank.

Begitu pula milenial sebagai tenaga kerja. Milenial umumnya cerdas, inovatif, gemar tampil diri, tetapi cenderung cepat bosan dan tidak suka didikte. Mereka potensial untuk berkembang dalam berbagai usaha startup baik di bidang e-commerce maupun finntech. Perubahan perilaku dalam era digital seperti ini jelas menuntut perubahan model bisnis dan upgrading skill tenaga kerja.

Leave a reply

Iconomics