Cara “SABLENG” untuk Hadapi Tantangan Covid-19

0
4607

Pandemi Covid-19 yang berasal dari Wuhan China telah memasuki minggu ketujuh di Indonesia. Kepanikan, kecemasan, kegelisahan karena rasa takut terpapar Covid-19 serta kebingungan cara untuk memenuhi kebutuhan hidup ataupun menyelesaikan pekerjaan/target pencapaian individual melanda dikehidupan masyarakat saat ini.

Perkembangan data masyarakat Indonesia yang terkonfirmasi positif terpapar Covid-2019 sampai 16 April 2020 sebanyak 5.516 orang. Terdiri dari 4.472 orang dalam perawatan, 548 orang yang sembuh dan 496 yang meninggal dunia. Provinsi yang tertinggi terkena dampak Covid-19 adalah DKI Jakarta sebanyak 2.670 orang, menyusul Jawa Barat sebanyak 570 orang, Jawa Timur sebanyak 514 orang, Jawa Tengah 300 orang dan Banten sebanyak 297 orang. Pertumbuhan masyarakat yang terpapar grafiknya terus meningkat dari hari ke hari. Oleh karena itu, pemerintah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang pertama menerapkan PSBB mulai tanggal 10 April 2020 sampai dengan 14 hari ke depan. Lalu pada tanggal 15 April 2020 daerah Bogor, Tangerang dan Bekasi (Botabek) juga melakukan hal serupa untuk 14 hari ke depan serta tidak tertutup kemungkinan daerah lainnya juga akan mengajukan hal yang sama seiring perkembangan kondisi penyebaran Covid-19 di daerahnya.

Dengan adanya penerapan PSBB, tentunya akan mengganggu roda ekonomi Indonesia yang dapat mendorong kepada resesi jika tidak diatasi dengan cepat. Dampak pandemi Covid-19 ini dari sisi dunia usaha akan mengalami penurunan penjualan, melakukan efisiensi dengan memberhentikan sementara/permanen (pemutusan hubungan kerja/PHK) para karyawannya, produksi terganggu bahkan berhenti karena terganggu rantai pasok bahan baku, operasional produksi dst.

Baca Juga :   Gubernur BI: Tahun Depan Pertumbuhan Nasional Akan Pulih

Dari sisi masyarakat, pendapatan dan daya beli masyarakat menurun baik akibat PHK atau hilangnya pendapatan bagi masyarakat yang bekerja secara harian (buruh bangunan, ojol, taksi dst) dan terjadinya permasalahan sosial. Dari sisi pemerintah akan hilangnya penerimaan pendapatan yang barasal dari penerimaan pajak dst.

Demikian pula dengan lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) terkena dampak. Mulai dari sisi kinerja penghimpunan dana simpanan pihak ketiga karena terjadi perubahan perilaku nasabah yang sebagian menarik dana untuk jaga-jaga, re-investasi ke mata uang valuta asing ataupun ke logam mulia, maupun  dari sisi debitur yang terganggu kemampuan membayar dan menjadi potensi kredit bermasalah. Jika melihat dari data OJK yang diolah, perkembangan pertumbuhan aset pada industri perbankan (termasuk BPR) kecenderungan mengalami perlambatan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan tertinggi ada pada tahun 2011 yaitu di atas 22%. Adapun tahun-tahun lainnya sebesar 10,42% pada tahun 2016, 9,79% pada tahun 2017, 7,13% pada tahun 2018 dan sebesar 8,24% pada tahun 2019. Adapun pada Januari 2020 (yoy) tumbuh 6,04%.

Operasional perbankan pun berkecenderungan tidak efisien dalam kurun 3 tahun terakhir, terlihat dari perkembangan (biaya operasional terhadap pendapatan operasional/BOPO) berangsur-angsur meningkat.  Pada tahun 2015 sebesar 81,49%, tahun 2016 sebesar 78,41%, tahun 2017 sebesar 72,58%, tahun 2018 sebesar 71,24, tahun 2019 sebesar 76,39% dan pada Januari 2020 sebesar 82,68%.

Untuk kinerja produktivitas menghasilkan keuntungan/laba digambarkan oleh perkembangan dari Return on Asset (ROA) dan Net Interest Margin (NIM) menunjukkan kecenderungan menurun, terlebih dengan dampak Covid-19 maka akan semakin berat ke depan.

Baca Juga :   Selain Ambulans, Pegadaian Berikan Peralatan Medis untuk PMI

Sementara untuk kinerja penyaluran kredit perbankan mengalami penurunan dari 11,97% di tahun 2018 menjadi 5,88% di tahun 2019. Begitu pula di Januari 2020 sebesar 5,88%. Kinerja penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) juga mengalami perlambatan pertumbuhan yang pada tahun 2016-2017 rata-rata di atas 9%, namun pada tahun 2018, 2019 dan Jan 2020 berada di bawah 5,75%. Pertumbuhan DPK ini hampir bisa dikatakan pertumbuhan yang semu jika dikaitkan dengaan rata-rata bank memberikan bunga simpanan yang rata-rata di angka 5%.

Berdasarkan pengalaman setiap terjadi krisis akan diikuti oleh adanya perubahan perilaku di masyarakat maupun para nasabahnya yang akan lebih kritis, lebih aware dengan transaksi digital, serta lebih menuntut  kualitas layanan, dan rata rata di masa transisi sering terjadi perpindahan nasabah dari bank sebelumnya ke bank lain atau ke lembaga financial technology (fintech) yang saat ini sedang berkembang.

Jika melihat data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada 3 tahun terakhir cenderung menurun. Pertumbuhan ekonomi tahun 2019 mencapai 5,02% dan untuk tahun 2020 pemerintah sempat memproyeksikan  ada 2 skenario yaitu 2,3% jika pandemi Covid-19 cepat teratasi, dan kondisi terburuk bisa jatuh mencapai minus di atas 3%, menurut World Bank.

Indonesia pernah mengalami kondisi krisis yaitu tahun 1997-1998, tahun 2008-2009 (krisis bubble subprime mortgage), dan dibandingkan tahun 2019 dengan pergerakan pertumbuhan ekonomi per triwulan. Pada krisis tahun 1997-1998, penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi di 5 triwulan dengan pertumbuhan terendah mencapai – 13,13%. Sementara di tahun 2008-2009, penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi 3 triwulan namun masih bertengger pada + 4,63%. Nah tahun 2020 akan terasa pada triwulan kedua. Indikasi kuat penurunan pertumbuhan ekonomi terlihat dari prediksi Kementerian Keuangan yang memperkirakan pendapatan negara sepanjang 2020 turun sebesar 10% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya, atau hanya mencapai 78,9% dari target APBN tahun ini. Perkiraan ini menyesuaikan kondisi perekonomian akibat pandemi Covid-19. Penerimaan perpajakan akan turun sebesar 5,4%, yang terdiri dari penerimaan pajak (-5,9%) dan bea cukai (-2,2%). Hal ini dikarenakan ekonomi melemah, juga stimulus dari pemerintah bagi dunia usaha berupa insentif pajak dan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh).

Baca Juga :   Menko Airlangga: Penanganan Covid-19 yang Berbeda, Bikin Ekonomi Tumbuh Luar Biasa

Berdasarkan pendapat para ahli dari kalangan akademisi seperti UGM, ITB, Guru Besar UI, UNS dan bahkan pendapat dari Badan Intelijen Negara (BIN), rata rata berpendapat bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia akan berakhir pada akhir Mei 2020 atau awal Juni 2020. Namun Chief Economist Institut Harkat Negeri yang juga sebagai Ketua Dewan pengawas Center of Islamic Studies in Finance, Economic and Development (CISFED) Awalil Rizky memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan terdampak hanya 2 triwulan dan akan kembali naik di sekitar triwulan ketiga tahun 2020.

Cara SABLENG dalam merespons kondisi pandemi Covid-19

Sekilas jika membaca atau mendengar “SABLENG” mungkin sebagian pembaca akan berpersepsi seolah-olah aneh dan “GILA” menghadapi kondisi pandemi Covid-19. Namun terlepas dari persepsi tersebut, kita coba sedikit membahas apakah orang yang “GILA” yang selalu berada di luar rumah, jarang cuci tangan, tidur dan makan seenaknya, tanpa memakai masker serta jarang mandi, tampaknya belum ada pemberitaan bahwa orang gila terpapar Covid-19?

Halaman Berikutnya
1 2 3

Leave a reply

Iconomics