CPO Indonesia dan Malaysia Butuh Pengakuan Internasional untuk Hadapi UE

0
512
Reporter: Yehezkiel Sitinjak

Dewan negara-negara produsen minyak nabati sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) diharapkan untuk menyatukan dan mengharmonisasikan standar produksi CPO antara negara anggotanya. Itu sebagai respons terhadap Uni Eropa yang berencana menetapkan standar batas maksimum kandungan kontaminan 3-monochlorpro-pandiol ester (3-MCPD Ester) dan glycidol esters (GE) dalam produk minyak nabati untuk kebutuhan makanan.

Berdasarkan rancangan UE, batas kandungan 3-MCPD bagi CPO sebesar 2,500 Mikrogram / Kilogram atau 2,5 ppm, sedangkan bagi minyak nabati lainnya seperti canola, kedelai, dan biji bunga matahari hanya ditetapkan sebesar 1,25 ppm. Sebagai produsen terbesar sawit, Indonesia telah punya standar sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan atau disebut Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Pun dengan Malaysia yang disebut dengan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).

“CPOPC harus menyelesaikan standar dulu. sekarang standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diadopsi oleh Eropa dan ISPO dan MSPO harus satu. Kita tidak bisa menghadapi Eropa dengan multi-standar di mana dalam CPOPC antara Indonesia dan Malaysia belum sepaham,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta beberapa waktu lalu.

Baca Juga :   Ekspor Minyak Sawit Turun, Devisanya Ikut Turun

Airlangga mengatakan, bila Indonesia dan Malaysia sepakat punya standar yang sama, maka kedua negara dan CPOPC punya posisi tawar tinggi ketika bernegosiasi dengan UE. Apalagi kedua negara menguasai 80% pasar CPO sehingga standar kedua negara akan menjadi rujukan.

Menanggapi pernyataan Airlangga itu, Direktur Eksekutif CPOPC Tan Sri Dr. Datuk Yusof bin Basron mengatakan, permasalahan utama yang dihadapi negara-negara produsen CPO bukan soal mengharmonisasikan standar produksi kedua negara. Tetapi, yang penting adalah pengakuan musyawarah dari seluruh negara dan lembaga internasional, termasuk UE.

“Saya rasa harmonisasi ini sudah hampir siap berjalan karena standar yang ada sudah berjalan dan membawa hasil yang sama. Namun, karena UE tidak ingin mengakui standar kami, di sinilah permasalahannya muncul,” kata Datuk Yusof.

Karena itu, kata Datuk Yusof, pihaknya sedang berdiskusi dengan lembaga-lembaga internasional yang relevan seperti Food and Agriculture Organisation (FAO) dan PBB untuk merancang suatu standar produksi CPO yang berkelanjuta dan bisa diterapkan setiap negara produsen dan diakui masyarakat internasional. Memang masih tahap awal dan akan membutuhkan waktu panjang.

Leave a reply

Iconomics