Indonesia dan Malaysia Sepakat Lawan Diskriminasi UE soal Sawit

Klaim yang menghubungkan minyak sawit dengan deforestasi tidak berdasar, tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan. Kampanye itu membawa dampak negatif kepada Indonesia dan Malaysia
0
145

Iconomics – Indonesia dan Malaysia mulai beraksi menanggapi keputusan Eropa yang melarang produk terutama minyak goreng berbahan dasar sawit. Di Indonesia, misalnya, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito melarang memajang makanan bertuliskan “makanan bebas minyak sawit” di toko-toko ritel.

Laporan Bloomberg pada Jumat (23/8), Indonesia bersama Malaysia memasok sekitar 85% dari total produksi minyak sawit dunia. Aksi kali ini disebut sebagai perlawanan kedua negara terhadap keputusan diskriminatif beberapa negara maju terutama di Eropa terhadap minyak sawit.

Pemerintah Indonesia dan Malaysia berjanji akan “membalas” tindakan diskriminatif Uni Eropa yang membatasi peredaran produk minyak sawit. Alasannya adalah perkebunan sawit merusak lingkungan karena menyebabkan deforestasi.

Menanggapi hal tersebut, Penny mengatakan, label Uni Eropa terhadap minyak sawit Indonesia merupakan kampanya hitam atas daya saing produk tersebut. Apalagi minyak sawit merupakan produk penting bagi Indonesia sehingga sudah menjadi tugas pemerintah untuk melindungi industri ini.

Untuk di awal, BPOM akan mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada para pedagang. Setelah itu, BPOM akan melakukan tindakan hukum apabila penjual tetap memajang produk dengan label “makanan tanpa minyak sawit”.

Baca Juga :   IBC Targetkan Salah Satu Pemain Baterai EV Terbesar di 2027, Ini Cara Mewujudkannya

Dengan adanya label itu, muncul persepsi bagi orang-orang perkotaan bahwa minyak kelapa sawit tidak sehat sehingga mendorong masyarakat tidak membeli produk tersebut. Padahal, kata Penny, anggapan demikian belum pernah diuji secara ilmiah. Itu sebabnya, BPOM bersama Kementerian Perdagangan akan berkampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat soal minyak sawit.

Malaysia
Seperti Indonesia, Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad mengatakan, kampanye Uni Eropa soal produksi minyak sawit dengan deforestasi sama sekali tidak berdasar, tidak adil dan tidak dapat dibenarkan. Industri disebut bertumbuh secara bertanggung jawab.

Sebagai produsen minya kelapa sawit terbesar kedua setelah Indonesia, pemerintah Malaysia tentu saja berkepentingan atas kampanye Uni Eropa mengenai minyak sawit. Uni Eropa menyebutkan perkebunan kelapa sawit merupakan penyumbang utama deforestasi. Merujuk kepada hal tersebut, Uni Eropa lantas menetapkan aturan menghapus minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar terbarukan pada 2030.

“Klaim yang menghubungkan minyak sawit dengan deforestasi tidak berdasar, tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan. Kampanye itu membawa dampak negatif kepada Malaysia yang bergantung kepada industri minyak sawit untuk meningkat kesejahteraan sosial ekonomi rakyat,” kata Mahathir seperti dikutip Channel News Asia pada Jumat kemarin.

Baca Juga :   Pemerintah Jepang Berencana Cabut Aturan Wajib Gunakan Masker di Luar Ruangan

Dikatakan Mahathir, pihaknya mengembangkan industri minyak kelapa sawit secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Dibanding memperluas lahan, Malaysia fokus peningkatan produktivitas kelapa sawit. Itu sebabnya, pemerintah Malaysia telah membatasi perkebunan kelapa sawit hanya dengan 6,55 juta hektare hingga 2023.

Tuduhan perkebunan sawit merupakan penyebab utama deforestasi berasal dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) berbasis Swiss. Ekspansi perkebunan sawit selain mengurangi lahan hutan, juga menyebabkan degradasi habitat hutan tropis di sebagian Asia, Amerika Tengah dan Selatan.

Catatan lembaga ini menyebutkan, setidaknya 50% deforestasi di Pulau Kalimantan periode 2005 hingga 2015 berkaitan dengan ekspansi perkebunan sawit. Pemerhati lingkungan menyebutkan penggundulan hutan terus berlanjut hingga hari ini di Kalimantan dan bagian lain di Malaysia. [*]

Leave a reply

Iconomics