Strategi Menghadapi Perubahan Perilaku Konsumen Saat Gelombang Pandemi Covid-19

0
15034

Sejak masuknya wabah Covid-19 di Indonesia, tidak henti-hentinya berbagai pemberitaan media massa dan media sosial tentang langkah-langkah penanganan Covid-19, jumlah orang yang terpapar, jumlah orang yang meninggal sampai dengan pemberlakuan social distancing, physical distancing, personal isolation dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tak luput pula kajian-kajian dari berbagai pihak mulai dari kalangan akademisi, profesional, pelaku usaha bahkan sampai dengan kalangan pemerintah, memenuhi pemberitaan tentang perkiraan dampak ekonomi, iklim bisnis/usaha serta sosial. Namun sedikit yang membahas tentang perubahan perilaku masyarakat/konsumen saat pandemi Covid-19 sedang berlangsung.

Saat ini wabah Covid-19 di Indonesia telah memasuki minggu ke-10. Jika melihat tren perubahan perilaku masyarakat/konnsumen selama pandemic Covid-19 berlangsung mengalami tren perubahan yang terbagi dalam 4 fase. Fase-fase tersebut adalah anxious (kegelisahan), fear (ketakutan), panic (kepanikan) dan new normal.

 

Fase Anxious (Kegelisahan)

Sejak pemerintah mengumumkan kasus terinfeksi Covid-19 yang pertama (02/03/2020) yang diikuti dengan pengumuman WHO bahwa Covid-19 telah menjadi pandemi (11/03/2020). Saat itulah kecemasan mulai melanda masyarakat yang berujung pergeseran perilaku masyarakat maupun konsumen yang sangat mendasar. Antara lain mulai meningkatnya kesadaran kesehatan dan kebersihan, mencari informasi serta pengetahuan terkait virus corona (Covid-19) bahkan tidak sedikit analisa masyarakat yang seolah-olah menjadi expertise dibidang Covid-19, pentingnya produk kesehatan seperti masker, hand sanitizer, vitamin, makanan penambah daya tahan tubuh (rimpang, wedang uwuh, buah-buahan dll).

Masyarakat yang memiliki simpanan dana lebih, sebagian nasabah melakukan penarikan dananya di perbankan untuk berjaga-jaga. Mereka juga mengalihkan ke dalam investasi lainnya seperti emas, dollar dst. Ada pula beberapa yang mempercayai dengan sistem Cash is The King dimana orientasinya adalah cash. Ketika situasi seperti ini kebanyakan orang melakukan “lock down” dompetnya sehingga masyarakat harus benar-benar pintar melakukan cutting dan meminimalisir bujet yang tidak perlu.

Source: Inventure

 

Baca Juga :   Tokopedia Nilai Kehadiran Gernas BBI untuk UMKM di Masa Covid-19 Sudah Tepat

Fase Fear (Ketakutan)

Pembentukan satuan gugus dalam penanganan wabah corona oleh pemerintah dan informasi peningkatan yang tajam jumlah orang yang terinfeksi dan yang meninggal mendorong kepanikan masyarakat.

Pada fase ini muncul habit baru karena aturaan yang diterapkan kepada masyarakat. Masyarakat takut terpapar dan terjangkit Covid-19, maka sekejap konsumen “aware” menjaga kebersihan diri dengan rajin cuci tangan dan hand sanitizer. Ini pun menjadi kebutuhan pokok. Ketakutan masyarakat tak hanya kondisi kesehatan pribadi, tapi juga seluruh anggota keluarga terutama anak-anak dan orang tua mereka yang berisiko paling tinggi terjangkit virus.

Masyarakat, perkantoran, pertokoan dan mal-mal mulai menerapkan kebijakan physical distancing dan social distancing, dengan menerapkan protokol kesehatan dengan menyediakan air dan sabun cuci tangan, hand sanitizerscan suhu tubuh dan penggunaan masker.

Perkantoran, perusahaan dan sekolah/perguruan tinggi mulai menerapkan work from home (WFH) dan studying from home (SWH). Disinilah masyarakat mulai beradaptasi dengaan dunia work from home (WFH),  belajar untuk mengelola emosi untuk menahan kepanikan, namun pada fase ini ada beberapa kelompok yang mulai memborong barang-barang kebutuhan pokok untuk surviving, produk kesehatan (masker, hand sanitizer, disinfektan), dan barang elektronik untuk keperluan rapat melalui video conference applications (Zoom, Google Meet dst) serta sarana penunjangnya seperti webcam dan provider home internet banyak diminati oleh masyarakat.

Baca Juga :   Menkeu: APBN Instrumen Penting di Masa Pandemi Covid-19

 

Fase Panic (Kepanikan)

Pada fase ini jumlah pasien terinfeksi dan meninggal terjadi secara eksponensial. Masyarakat mulai merespons dengan melakukan self-quarantine/self lock down dan pemerintah serta beberapa pemerintah kota/kabupaten mengimplementasikan program PSBB. Masyarakat mulai melakukan penyelamatan diri dengan melakukan self quarantine, terbiasa dengan WFH& SWH, untuk keperluan pemenuhan kebutuhan belanja grosir melalui e-commerce (belanja online) dan hiburan permintaan home entertainment (televisi berbayar) meningkat.

Untuk kebutuhan makanan dilakukan secara food delivery baik melalui aplikasi pengantaran online (Grabfood/GoFood) juga fasilitas  delivery yang disediakan oleh provider/tokonya. Transaksi perbankan secara online baik mobile banking, internet banking mendorong masyarakat untuk menjadi pilihan utama dalam kebutuhan transaksinya.

Pada fase ini juga, masyarakat mulai muncul rasa takut kehilangan pekerjaan karena perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut karena penurunan/tidak ada omzet. Ketakutan terkena PHK akibat ekonomi yang porak-poranda oleh wabah. Hal ini mencemaskan keluarga-keluarga di Tanah Air karena Indonesia termasuk yang paling buruk sistem jaminan sosialnya. Prediksi PHK dan pengangguran massal merebak, dolar meroket, harga saham anjlok, non performing loan  (NPL) bank melonjak, resesi di depan mata, pemerintah nampak terlihat bingung dengan mengeluarkan statement yang terkesan panic policy dan sempat membingungkan masyarakat.

Baca Juga :   Kinerja APPI Mengalami Hambatan Pertumbuhan di Masa Pandemi

 

Fase New Normal

Pada fase ini jumlah wabah pandemi Covid-19 menunjukkan tahapan berakhir. Jumlah terinfeksi/meninggal berkurang dan akhirnya tak ada lagi. Berbelanja secara online, food delivery, WFH&SWH, home entertainment, telemedicine seperti Halodoc dll, kepedulian pada higienitas dan kesehatan menjadi new habit dalam kondisi normal.

Menarik kita pelajari tentang perubahan perilaku mendasar sepanjang pandemi Covid-19 dan membentuk budaya baru di masyarakat. Hal ini yang dapat menjadi acuan dalam merencanakan strategi bisnis ke depan.

 

The Fall of Mobility and The Rise of Stay @home

The challenge of work-life balance is without question one of the most significant  struggles faced by modern man.” – Dr. Stephen Covey.

Kalimat dari Stephen Covey tersebut menggambarkan kondisi manusia moderen sebelum adanya krisis Covid-19. Manusia moderen dicirikan sebagai makhluk yang dinamis dengan mobilitas tinggi.

Penyebaran virus yang belum terkendali praktis menghentikan mobilitas dan memaksa orang untuk berdiam diri di rumah.Survei dari Kantar, hampir 80% masyarakat Indonesia menghabiskan waktu di rumah selama masa karantina. Menariknya, tren ini tidak hanya terjadi di kota besar yang rata-rata termasuk zona merah namun juga diikuti oleh kota-kota kecil.

Halaman Berikutnya
1 2 3

Leave a reply

Iconomics