Petualangan Baru untuk Konsumen LinkAja Melalui Layanan Syariah

0
958

Aplikasi LinkAja luncurkan layanan syariah

Pembayaran berbasis elektronik mendapatkan momentum yang sangat bagus di saat pandemi Covid-19. Pembatasan kontak fisik secara langsung yang berisiko mengakibatkan penyebaran Covid-19 membuka peluang bagi pembayaran digital atau elektronik untuk menambah pengguna dan nilai transaksi.

Terlepas momentum tersebut, pembayaran berbasis elektronik memang sedang berkembang. Lahirnya pembayaran yang berbasis aplikasi mobile, seperti LinkAja, OVO, GoPay dan lainnya mengubah perilaku masyarakat dengan signifikan.

Di tengah pertempuran besar memperebutkan pasar, LinkAja melahirkan layanan syariah LinkAja. Pertengahan April 2020, LinkAja memperkenalkan layanan baru tersebut untuk menjawab kebutuhan masyarakat pada produk-produk ekonomi syariah.

Direktur Utama LinkAja Haryati Lawidjaja mengatakan Layanan Syariah LinkAja mengedepankan tiga kategori utama produk layanan syariah, yaitu ekosistem ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf), pemberdayaan ekonomi berbasis masjid serta digitalisasi pesantren & usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Berbicara mengenai potensi pasar muslim di Indonesia memang luar biasa. Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar sering menjadi patokan peluang besar bagi pasar bisnis berbasis syariah.Penduduk muslim di Indonesia sekitar 87% dari populasi penduduk Indonesia. Data pengeluaran atau konsumsi muslim mencapai US$224 miliar pada 2018. Jumlah tersebut banyak dikontribusikan dari makanan halal dan busana muslim.

Peluang lainnya yang bagi LinkAja dipandang besar adalah dana sosial yang dihimpun sesuai syariat Islam. Data Baznas menunjukkan tren perolehan dana dari ZIS (zakat, infak, shodaqoh) terus tumbuh. Rata-rata pertumbuhan dana ZIS sekitar 36% dari tahun 2002 hingga 2019. Perkiraan dana ZIS pada tahun 2019 sudah mencapai sebesar Rp233,84 triliun.

Belum lagi inklusi keuangan di Indonesia yang masih dalam perjalanan mencapai kesempurnaan.Komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan inklusi keuangan akan menjadi peluang bagi para pemain industri jasa keuangan, tak terkecuali LinkAja yang memiliki layanan berbasis syariah. Dalam Rapat Terbatas mengenai Keuangan Inklusif 28 Januari 2020 lalu, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan agar capaian Indeks Keuangan Inklusif dapat terus ditingkatkan, hingga Indeks Keuangan Inklusif mencapai 90% pada 2024. Sementara, pada 2019 tercatat 76,1% penduduk dewasa di Indonesia telah terlayani akses keuangan, melampaui target Indeks Keuangan Inklusif sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 yakni 75%.

Baca Juga :   Ekonomi Syariah Bisa Manfaatkan Teknologi Digital untuk Dorong Pertumbuhan

“Jadi pertama populasinya gede. Yang kedua spending-nya gede. Jadi dari sisi market menarik banget, khususnya untuk uang elektronik,” kata Group Head Layanan Syariah LinkAja Widjayanto Djaenudin saat membeberkan latar belakang LinkAja masuk ke layanan syariah.

Peluncuran LinkAja Syariah sebagai inisiatif untuk memberikan peningkatan layanan kepada pengguna uang elektronik. Saat ini, Layanan Syariah LinkAja menjadi satu-satunya layanan pembayaran elektronik berbasis syariah di Indonesia. Layanan yang melekat pada LinkAja ini menjadi pioner karena kompetitor lainnya seperti GoPay, OVO dll belum masuk ke pasar syariah.

Widjayanto menjelaskan Layanan Syariah LinkAja bukan uang elektronik baru, tapi fitur syariah yang ada di LinkAja. Layanan ini adalah pengembangan pembayaran syariah yang dilakukan LinkAja dalam sistem pembayaran yang disediakan. Dengan demikian, saat ini pengguna LinkAja memiliki alternatif karena ada 2 pilihan, ada reguler dan syariah.

Apabila ada pengguna uang elektronik yang memiliki perhatian khusus pada syariah dapat menggunakan layanan tersebut. LinkAja berkomitmen akan “mengawal” agar aktivitas dari awal hingga akhir tidak melenceng dari syarat-syarat syariah. LinkAja akan “mengawal” dari akad, perencanaan dananya, promo-promo hingga merchant-nya tetap bernafaskan syariah.

Dalam implementasinya, Layanan Syariah LinkAja mengedepankan beberapa prinsip dasar, yaitu penempatan dana bekerja sama dengan sejumlah bank syariah, mengaplikasikan tata cara transaksi yang sesuai dengan kaidah syariah, serta dapat diterima di seluruh merchant LinkAja. Layanan Syariah LinkAja juga menghadirkan beragam produk yang sesuai dengan akad syariah dengan tidak ada unsur maisyir (judi), gharar (ketidakjelasan), riba (tambahan), zalim, dan barang tidak halal.

Layanan syariah ini menargetkan 1 juta sampai dengan akhir 2020. Widjayanto mengatakan jumlah userpada minggu pertama pasca launchingmencapai sekitar 100 ribu pengguna. Dan ia optimistis target 1 juta hingga akhir tahun dapat tercapai.

Baca Juga :   LinkAja Menggandeng Pemkab Belitung Timur untuk Sediakan Layanan Keuangan

LinkAja bermain pada mass market, dengan demikian mengmbangkan berbagai use caseyang mass. Layanan ini juga masuk ke segmen bawah. Oleh karena ituFokus utamanya pada 3 area utama yakni Ziswaf, pemberdayaan pesantren, dan ekosistem masjid. Pilihan membidik segmen bawah selaras dengan arah kebijakan pemerintah untuk meningkatkan inklusi keuangan masyarakat.

“Kita mesti concern membuat mereka (pesantren) untuk melek digital. Ketika ada uang elektronik dan pembayaran berbasis teknologi maka bayar pesantren bisa pakai uang elektronik, UKM bisa menggunakan uang elektronik, gaji ustadnya bisa menggunakan uang elektronik,” kata Widjayanto menyontohkan inisiatif yang bisa dilakukan di pondok pesantren.

Digitalisasi pesantren memang menjadi salah satu konsentrasi pemerintah. Salah satu program yang belum lama ini diluncurkan bersama Nahdlatul Ulama (NU) adalah piloting Kios Warga Nahdlatul Ulama Digital (WarNU). Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Iskandar Simorangkir mengatakan targetnya dibentuk 10 ribu Kios WarNU Digital dalam 4 tahun ke depan. Potensi untuk mengkatalisasi inklusi keuangan sangat besar.Apalagi kalau mengingat jumlah warga Nahdliyin sekitar 120 juta, menaungi 29 ribu pesantren dan lembaga Pendidikan serta membina 256 lembaga pendidikan tinggi.

Adapun LinkAja bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melakukan pengembangan ekonomi berbasis pesantren. Menurut Widjayanto, saat ini ada 3 pesantren yang terletak di Bogor, Cirebon dan Solo. Tiga pesantren tersebut menjadi model digitalisasi. Apabila implementasi tersebut berhasil maka akan menjadi model yang akan dikembangkan ke 3300 pesantren lainnya hingga 2024.

Begitu pula rencana pada Ziswaf yang berbasis wilayah (kecamatan/kelurahan). Apabila implementasi layanan Ziswaf pada Lembaga Amil Zakat (LAZ) berhasil maka replikasi pengembangan kerjasama akan dilakukan dengan lembaga-lembaga lain dan tempat lain.

Sebagaimana komitmen yang telah dipaparkan sebelumnya, gimmick yang disiapkan oleh layanan pembayaran syariah ini berbeda dengan yang biasa diberikan oleh yang konvensional. Biasanya cashback menjadi salah satu gimmick yang ditawarkan kepada pengguna saat berbelanja. Namun, Layanan Syariah LinkAja kemungkinan akan menggunakan gimmick yang mengandung spirit social impact. Widjayanto menyontohkan dari sejumlah persen setiap transaksi akan digunakan untuk pembangunan islamic center, misalnya. Ia melihat setiap benefit dari transaksi tidak semuanya harus langsung dirasakan oleh konsumen, tapi juga dirasakan oleh orang lain. Menurutnya, pasar konsumen seperti ini ada.

Baca Juga :   LinkAja Buka Layanan Bayar-bayar PNBP, Pajak Online dll

Pada tahun pertama ini, layanan syariah ini akan banyak menfokuskan pada pembangunan ekosistem. Target pengguna 1 juta pada 2020 tetaplah target, tapi pada saat yang bersamaan membuat permodelan untuk direplikasi. Dengan demikian harapannya dapat bisnis uang digital berbasis syariah ini dapat tumbuh secara berkelanjutan.

Managing Partner Inventure Yuswohady melihat pasar syariah di Indonesia sangat unik. Saat ini, muslim di Indonesia kebanyakan universalis. Artinya, pilihan yang dilakukan oleh konsumen muslim lebih besar mempertimbangkan manfaat yang diperoleh daripada aspek-aspek spiritual keislaman.

Oleh karena itu, layanan apapun itu, Yuswohady menekankan pentingnya diferensiasi unik yang ditawarkan, fungsionalitas dan manfaat lebih yang diberikan kepada konsumen. Setiap kali promiseyang ditawarkan kepada konsumen juga harus dibuktikan dengan kinerja yang tepat sesuai yang dijanjikan.

Tak kalah penting soal mindset. Ia menekankan mindset untuk mengalahkan kompetitor seperti GoPay, OVO dan lainnya sangat penting. Layanan syariah tersebut seharusnya dibentuk untuk bertempur dengan uang digital lainnya. Hal tersebut sangat penting karena akan terus merangsang inovasi layanan dan produk yang diberikan kepada konsumen.

Catatan penting dari Yuswohady, kesalahan terbesar brand produk/layanan Islam (syariah) itu malas berinovasi. Mentang-mentang pemasarannya ke kelompok muslim, maka produk apapun berlabel syariah diyakini bakal diterima oleh pasar muslim. Seharusnya nilai-nilai yang dijual dengan menawarkan kekuatan fitur produk, kemampuan teknologi, dan manfaat-manfaat lainnya. Tekadnya untuk melawan pemain utama pembayaran digital.

 

Berita ini dapat dibaca juga di e-magazine The Iconomics. Dapatkan berita lainnya di e-magazine.

Leave a reply

Iconomics