IA-CEPA Sudah Resmi Berlaku, Bisakah Memperbaiki Defisit Neraca Dagang Indonesia dan Australia?

0
427
Reporter: Petrus Dabu

Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) sudah resmi berlaku sejak 5 Juli 2020. Perjanjian ini sebenarnya tidak hanya mencakup perdagangan barang, tetapi juga terkait jasa dan investasi.

Dari sisi perdagangan barang, tarif ekspor barang dari Indonesia ke Australia dihapus 100% menjadi 0%. Sebaliknya, tarif impor barang dari Australia ke Indonesia dihapus secara bertahap mulai dari 94%.

Perjanjian perdagangan ini di satu sisi merupakan peluang untuk bisa meningkatkan ekspor Indonesia ke negeri Kanguru. Tetapi di sisi lain juga ada kekhawatiran justru ini akan membuat barang-barang dari Australia membanjiri pasar Indonesia. Dus, alih-alih akan memperbaiki neraca dagang yang selama ini defisit menjadi surplus, malah bisa semakin meperlebar defisit yang ada.

Direktur Perundingan Bilateral, Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini mengatakan ada IA-CEPA maupun tidak ada, Indonesia tetap defisit dengan Australia. “Kenapa? Karena struktur dari produk kita, kalau ngomongin produk, itu berbeda ya. Dan kita butuh produk-produk Australia itu di saat ini. Jadi beberapa item dari yang kita impor dari sana itu memang kita butuhkan,” ujarnya dalam sebuah webinar dengan topik “Indonesia-Australia CEPA”, Rabu (8/7).

Baca Juga :   Januari 2020, Defisit Neraca Dagang Indonesia Sudah Menipis

Namun, Ni Made mengatakan defisit atau surplus bukanlah satu-satunya cara melihat kesehatan dari  hubungan perdagangan. “Kita bisa defisit namun hubungannya sehat. Karena kita butuh produk-produk tersebut,” ujarnya.

Selama ini, sejumlah barang dari Australia yang diimpor ke Indonesia adalah gandum, daging dan ternak. Ni Made mengatakan gandum memang sangat dibutuhkan oleh industri di Indonesia. Dibandingkan impor dari negara lain, impor dari Australia lebih murah  dan lebih dekat.

“Kita lihat saja, gandum itu untuk apa? Ternyata pabrik Indomie kita atau merek-merek yang lain terbesar di dunia saat ini. Untuk apa? Artinya untuk produksi,” ujarnya.

Demikian juga impor daging dan ternak. Menurutnya, komoditas ini memang dibutuhkan Indonesia karena sering terjadi gejolak harga.

Tetapi nanti dengan adanya IA-CEPA ini, impor daging dan ternak akan dibuatkan kuota. Artinya, tidak bisa sebebas-bebasnya juga. “Kuotanya bagaimana? Dihitung berdasarkan impor kita tahun sebelumnya dilihat dari sana,” ujarnya.

Dalam IA-CEPA ini juga ada konsep economic powerhouse. Dengan konsep ini, misalnya daging yang diimpor dari Australia diolah di Indonesia dengan investasi dari Australia. Nanti hasil olahan daging itu diekspor lagi ke Australia dan negara ketiga seperti China dan Timur Tengah.

Baca Juga :   Bahas RCEP di Thailand, 16 Negara Gagal Hasilkan Kesepakatan

“Kita banyak sekali, sekitar US$500 juta lebih impor daging  dan ternak [dari Australia]. Kita enggak mau dong impor terus ya. Kita harus jadi atau menumbuhkan industri pengolahannya. Nah olah di sini, dengan adanya investasi dari Australia, tenaga kerja juga ada, dididik sehingga memiliki keterampilan untuk mengolah,” ujarnya.

Di sisi lain, tarif 0% atas impor barang-barang Indonesia ke Australia merupakan peluang bagi produk-produk Indonesia untuk bisa bebas masuk ke pasar Australia termasuk produk UKM. Namun, yang perlu diwaspadai adalah hambatan-hambatan non tarif. Ni Made mengatakan standar non tarif ini yang perlu dicermati, apalagi Australia sebagai negara maju biasanya memiliki standar tinggi.

“Di dalam IA-CEPA kita bahas TBT [Technical Barriers to Trade]. Dan kita punya kerja sama bagaimana eksportir Indonesia itu bisa memanfaatkan pasar Australia itu yang sudah 0% untuk tarif,” ujar Ni Made.

Leave a reply

Iconomics