Indonesia, RCEP dan Kesepakatan yang Tidak Pasti

0
81

Kesepakatan soal perundingan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Patnership (RCEP) dipastikan harus tercapai pada November 2019. Apalagi kesepakatan itu akan membawa dampak positif bagi peningkatan nilai perdagangan dan investasi di kawasan khusus Indonesia.

Demikian yang menjadi harapan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengenai perundingan RCEP. Dengan diselesaikannya perundingan RCEP pada tahun ini, maka akan memberi sinyal positif terhadap kepastian dan stabilitas perkembangan pasar dunia yang diharapkan akan meningkatkan perdagangan dan investasi di kawasan RCEP, khususnya Indonesia.

Sebagai Menteri Perdagangan, Enggar merupakan koordinator negara dalam menghadiri pertemuan tingkat menteri RCEP ke-7 di Bangkok, Thailand. Pertemuan tersebut dihadiri 16 menteri negara RCEP dan tujuannya meninjau perkembangan perundingan RCEP serta menentukan langkah dan strategi dalam mencapai target penyelesaian RCEP secara substansial pada November 2019.

Skema regional yang melibatkan 16 negara ini, Indonesia disebut sebagai penggagas bersama Tiongkok. Selain 10 negara Asean, keanggotaan RCEP meliputi Jepang, India, Korea Selatan dan Selandia Baru. RCEP meliputi sekitar 3,5 miliar penduduk atau lebih dari 45% dari jumlah penduduk dunia.

Baca Juga :   Cak Imin: Jaminan Sosial Berperan Penting Lindungi Kesejahteraan Seluruh Rakyat

Enggar menekankan RCEP sebagai skema perdagangan dan investasi regional terbesar dunia sehingga kesepakatannya akan berpengaruh bagi perekonomian dunia. Selain mewakili lebih dari 45% populasi dunia, RCEP juga disebut mewakili 32,2% ekonomi global; 29,1% perdagangan global; dan 32,5% arus investasi global.

Dikatakan Enggar, setelah 7 tahun berunding, RCEP harus terus maju karena kini berada pada titik point of no return. Itu sebabnya, penyelesaian kesepakatan RCEP pada tahun ini mendesak karena akan kehilangan momentum penting yang dapat mendorong perubahan dan kemajuan perekonomian dunia.

FTAs
Perjanjian Perdagangan Bebas dan Investasi (FTAs) merupakan bagian dari skema perdagangan bebas yang menjadi upaya negara-negara maju untuk terus mendominasi negara-negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merupakan salah satu skema perjanjian perdagangan bebas yang dibentuk beberapa dekade lampau. Namun, negosiasi WTO dalam beberapa tahun terakhir mengalami kebuntuan karena kuatnya penolakan terhadap skema itu.

Kebuntuan negosiasi di WTO itu lantas berupaya dipecahkan lewat skema bilateral dan regional. Semisal, Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik (TPPA) yang beranggotakan 11 negara yang terdiri atas AS, Jepang, Australia, Peru, Malaysia, Vietnam, Selandia Baru, Chile, Singapura, Kanada, Meksiko dan Brunei. Kesepakatan dagang ini mewakili 40% produk domestik bruto global atau 25,5% dari total perdagangan dunia. Akan tetapi, nasib TPPA pun tidak jelas setelah Presiden Trump mundur dari kesepakatan ini.

Baca Juga :   Ekonom: Nama Menteri Indonesia yang Dimuat Pandora Papers Perlu Didalami

Selanjutnya, muncul RCEP. Ini akan menjadi blok perdagangan bebas terbesar di dunia. Adapun yang dinegosiasikan dalam RCEP meliputi penghapusan tarif barang-barang seperti produk industri, jasa, hak kekayaan intelektual dan lain sebagainya.

Khusus soal ketentuan hak kekayaan intelektual dan obat paten, Korea Selatan dan Jepang merupakan negara yang ngotot mendesakkan hal tersebut. Walau tidak ikut dalam RCEP, AS tampaknya akan meraup keuntungan atas hak intelektual obat paten.

Ketentuan tersebut hanya akan memperpanjang monopoli atas obat paten oleh AS dan sekutunya. Aturan ini melampaui perjanjian yang diatur dalam WTO terutama dari aspek Trade-Related Intellectual Property Rights (TRIPs).

India menentang gagasan Korsel dan Jepang. Negara ini mencoba memberikan usulan yang lebih moderat bagi pemegang hak paten dan negara pengguna. Dengan demikian, rakyat terutama negara-negara berkembang masih bisa menjangkau obat paten itu.

Karena itu, seperti yang diperkirakan Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang Hiroshige Seko, tidak akan ada kesepakatan apapun tentang RCEP hingga akhir tahun ini. Pasalnya, negara-negara yang terlibat belum memiliki kesamaan karena kepentingan yang berbeda-beda. [Ant]

Leave a reply

Iconomics