GAPKI: Sawit Punya Daya Tawar Hadapi Diskriminasi

0
844

Komisi Uni Eropa sedang meninjau ulang kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II). Hal tersebut diungkapkan oleh Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket. Ia mengatakan Komisi Uni Eropa sedang meninjau ulang kebijakan RED II dan hasilnya akan dipublikasikan pada bulan Juni tahun ini.

Kebijakan RED II yang merupakan bagian dari green deal policy, melalui skema indirect Land Use Change (ILUC) mengecualikan sawit karena dianggap berisiko tinggi menyebabkan deforestasi.  Padahal penelitian Union of Concervation of Nature (IUCN) menyatakan sawit sembilan kali lebih efisien dalam penggunaan lahan.

“Seluruh minyak nabati di dunia harus memiliki standar pendekatan yang sama dan diakui PBB yakni dengan berbasis Sustainable Development Goals (SDGs), bukan satu atau dua indikator yang dikarang-karang, tidak diakui dunia dan tidak akademis,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar dalam webinar Inapalmoil beberapa waktu lalu.

Perundingan terus berlangsung, baik antar negara maupun tingkat kawasan. Indonesia maupun Uni Eropa mendorong kerjasama yang dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan menjelaskan daya saing yang tinggi yang dimiliki oleh komoditas sawit tidak mengkhawatirkan posisinya di pasar global.

Baca Juga :   Menaker Ida Sebutkan 7 Hal Penting untuk Ciptakan Hubungan Industrial yang Kondusif di Perkelapasawitan

Fadhil Hasan mengaku pelaku usaha juga mampu beradaptasi melalui berbagai sertifikasi, mulai dari sertifikasi yang dimiliki oleh pasar seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun negara yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

“Selain itu, Indonesia juga memiliki leverage tinggi serta pasar terbesar di Asean. Menguasai setengah dari populasi di wilayah Asean, menjadikan Indonesia sebagai regional leader sehingga berpengaruh berpengaruh bagi perekonomian dunia. Hal ini menjadi bargaining power dalam perundingan bilateral maupun multilateral,” kata Fadhil.

Fadhil menyoroti pendekatan diplomasi trade and sustainable development (TSD) yang digunakan dalam perundingan. Menurut Fadhil, penting untuk meninjau kembali perjanjian perdagangan sehingga mampu untuk mengakomodir seluruh kepentingan kedua bela pihak, terutama pada perjanjian Comperhensive Economic Partnership Agreement (CEPA) untuk menghindari regulasi lain diluar daripada yang telah diatur dalam CEPA karena akan menjadi hambatan dagang lainnya.

Leave a reply

Iconomics