
Keluhkan Grey Charter, Pengusaha Pesawat Charter Sebut Ada 3 Grey Charter dari 10 Movement Penerbangan

Asian Sky Forum Business Aviation 2024, di Hotel Shangri-La, Jakarta, yang ditutup Kamis (27/06/2024)/Dok. Ist
Pelaku usaha industri aviasi, khususnya pesawat charter resah dengan fenomena grey charter yang masih menghantui. Fenomena grey charter menjadi keprihatinan mendalam para pelaku industri pesawat charter di Indonesia.
”Memang belum ada angka statistik persisnya, tapi melihat realitas di lapangan setidaknya 2-3 movement (penerbangan charter di Indonesia) itu grey,” kata Chief Marketing Officer Jetset, Harilal Mohanan dalam keterangannya.
”Di sini (Indonesia, red), kita belum ada regulasi yang solid terkait situasi ini. Terus terang, ini meresahkan secara jangka pendek maupun panjang,” imbuhnya.
Menurutnya, pasar pelaku industri yang sudah teregister secara resmi di Kementerian Perhubungan ini otomatis tergerus oleh aktivitas mereka.
Dalam jangka panjang, image industri charter potensi tercederai ketika semisal ada kecelakaan yang melibatkan pesawat grey charter. ”Kami berharap regulator (pemerintah) punya konsen terhadap hal ini,” kata Harilal.
Grey Charter merupakan penerbangan yang dilakukan pesawat yang teregister sebagai pesawat pribadi, namun disewakan secara komersial untuk mengangkut penumpang. Sederhananya, pesawat ‘plat hitam’ namun beroperasi sebagai pesawat ‘plat kuning’. Karena tidak teregister secara resmi sebagai pesawat charter, dampak yang sudah pasti adalah minimnya atau bahkan ketiadaan jaminan keselamatan bagi penumpang yang diangkut, termasuk ketiadaan asuransi. Sebagian besar pesawat pribadi itu pun teregister di luar negeri dengan pilot asing.
Chief Operations Officer Jetset, Dhede Damanik menambahkan perhatian pemerintah ini penting karena potensi pengembangan industri penerbangan non-airline di Indonesia atau pesawat charter cukup besar.
Di Asia, Indonesia saat ini setidaknya sudah tercatat memiliki penerbangan charter tertinggi ketiga setelah Singapura dan Jepang. ”Kita di Indonesia itu rata-rata sudah 200 movement take off-landing per bulan, ini sudah sekitar setengahnya dari Singapura,” ungkapnya.
Menurutnya, sudah semestinya ada regulasi yang lebih baik terkait fenomena grey charter di Indonesia. Hal ini menyangkut potensi pendapatan negara pula.
”Kita operator yang resmi teregister di (Kementerian) Perhubungan ini kan bayar pajak, semua invoice kena pajak, kalau mereka kan tidak wajib pajak,” imbuh Dhede.
Di kesempatan yang sama, Presiden Direktur Premiair, Tony Hadi juga berharap ada kesadaran pula di internal ekosistem industri penerbangan non-airline untuk bersama-sama menekan perkembangan fenomena grey charter yang terus marak hingga saat ini.
Leave a reply
