
Potensi Ekonomi Hijau yang Dapat Berkontribusi untuk Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Rangkaian seminar yang bertema ‘Economic & Business Outlook 2024’, ‘Indonesia Zero Carbon Forum’, dan ‘Kaya Bahan Baku, Siapkah Indonesia Jadi Remain Utama EV’ yang digelar Warta Ekonomi/Dok. WE
Optimalisasi sumber daya yang dimiliki Indonesia menjadi modal mencapai perekonomian Indonesia yang maju pada Indonesia Emas 2045. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Abdurohman mengatakan secara umum regulasi Tanah Air masih perlu optimalisasi untuk menunjang jalan menjadi negara berekonomi maju.
“Secara umum, memang dari sisi sistem regulasi kita memang perlu banyak improvement. Saya kira ini menjadi salah satu kendala terbesar dari attractiveness dari investasi kita di negeri ini,” kata Abdurohman dalam acara Indonesia Economic & Business Outlook 2024 pada 26 Maret 2024 lalu.
Ia menegaskan perbaikan regulasi dapat menunjang kehadiran dari kunci pertumbuhan ekonomi yakni Modal, Tenaga Kerja dan Produktivitas. Modal dalam bentuk investasi maupun infrastruktur diperlukan negara untuk membangun ekonominya. Selain investasi yang berasal dalam negeri, Indonesia membutuhkan investasi asing untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan.
“Jadi kalau kita mau dorong pertumbuhan ekonomi sampai 6%, artinya kita harus mengundang investor asing ke Indonesia,” ujar Abdurohman.
Mengenai tenaga kerja, menurut Abdurohman, yang bisa didorong lagi adalah produktivitas, termasuk mengenai kualitas distribusi, regulasi yang sangat menentukan.
Peran pemerintah sangatlah penting dalam mendorong produktivitas, mulai dari menghadirkan perbaikan regulasi dan efisiensi birokrasi, perbaikan infrastruktur, hilirisasi dan transformasi hijau.
Indonesia memiliki peluang untuk memperoleh benefit dari ekonomi hijau. Salah satunya dengan menghadirkan bursa karbon. Pemerintah melalui Bursa Efek Indonesia (BEI) meluncurkan Bursa Karbon Indonesia pada 26 September 2023. Upaya kebijakan jual beli emisi karbon ini dinilai tidak hanya mendorong industri untuk memberlakukan pengurangan emisi karbon, namun juga membuka peluang yang luas untuk investasi.
Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Laufaldy Ernanda mengatakan banyak tantangan dalam bursa karbon yang bukan hanya bisa dikerjakan oleh regulator namun butuh pula dukungan dari stakeholders, termasuk media yang sama-sama menyuarakan isu global climate change.
“Isu climate change itu adalah isu global dan harus semua pihak dan institusi men-tackle isu tersebut,” kata Laufaldy.
Laufaldy menyebutkan implementasi perdagangan karbon sendiri diwujudkan melalui perdagangan karbon yang telah menjadi target penting di beberapa negara. Dia mengatakan beberapa negara berlomba-lomba untuk punya bursa karbon sendiri dan untungnya Indonesia menjadi salah satu yang terbesar.
Secara rinci, Laufaldy menyebutkan sejak diluncurkan pertama kali akumulasi transaksi volume perdagangan karbon mencapai volume sekitar 571.956 ton CO2 setara Rp35,3 miliar.
“Rp35,3 miliar ini memang masih sangat kecil apalagi dengan program jangkap panjang targetnya tentu di atas itu. Namun untuk ukuran sejak diluncurkan hingga 25 Maret 2024 itu adalah pencapaian. Apalagi negara tetangga, Malaysia misalnya saat meluncurkan bursa karbon transaksinya nol,” jelas Laufaldy.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan bukan saja di domestik, namun mengglobal optimalisasi perdagangan karbon OJK tidak bisa berjalan sendiri. Bahkan upaya dukungan ini juga bukan hanya diharapkan datang dari investor domestik, namun juga global agar mau berinvestasi di berbagai proyek pengurangan emisi yang nantinya menghasilkan karbon kredit.
Sejalan dengan dorongan mencapai net zero emission yang sekaligus memberikan manfaat ekonomi, Indonesia mendorong konsumsi kendaraan listrik berbasis baterai.
VP Perencanaan Strategis Pengembangan Produk Niaga PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Ahmad Syauki mengatakan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dan pihaknya mendorong pertumbuhan ekosistem kendaraan listrik atau electric vehichle (EV) sangat pesat di Indonesia.
“Berbagai kebijakan baik oleh pemerintah melalui kementerian ataupun PLN ini tumbuhnya ekosistem ini sangat luar biasa,” ujar Syauki.
Syauki mengatakan untuk pertumbuhan kendaraan roda dua berbasis listrik mengalami pertumbuhan 13 kali lipat, sedangkan untuk kendaraan roda empat tumbuh hingga 5 kali lipat.
Pemerintah melalui Permenperin Nomor 21 Tahun 2023 dan Perpres 79 Tahun 2023 yang mendorong penjualan kendaraan roda dua dan roda empat. Sampai saat ini, penjualan kendaraan roda dua berbasis listrik menembus sebanyak 2.700 unit dan sebanyak 2.355 unit kendaraan roda empat.
“Load-nya sangat luar biasa, tentu dibaliknya bisnis infrastruktur merupakan bisnis yang sangat menjanjikan kedepannya,” ujarnya.
Syauki menyebut dengan tumbuhnya angka penjualan tersebut sejalan dengan jumlah transaksi per Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) milik PLN juga sangat meningkat seiring dengan tumbuhnya populasi.
“Tren pemasangan home charging di rumah di tahun 2022 hanya 1.724 kemudian di tahun 2024 11.210,” ujarnya.
Lanjutnya, pertumbuhan dari tren pemasangan home charging tersebut tak terlepas dari meningkatnya populasi dari kendaraan listrik di Indonesia.
“Angka 11 ribu ini merupakan angka home charging yang terkoneksi ke sistem PLN, ketika home charging connect ke sistem PLN dia akan mendapatkan berbagai value terkait biaya penyambungan dan diskon biaya energi sebanyak 30%, secara normal biaya home charging di rumah tangga sekitar Rp1.600 ketika dia mendapat diskon jadi hanya Rp1.200 ini sangat luar biasa menyebabkan efisiensi,” ucapnya.
Presiden Direktur PT Dharma Controlcable Indonesia, Eko Maryanto menyebut jika Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam industri baterai untuk kebutuhan kendaraan listrik masih terdapat beberapa pekerjaan rumah, salah satunya adalah dengan melengkapi infrastruktur supply chain industri baterai dan meningkatkan nilai tambah kekayaan alam Indonesia.
“Nah ini salah satu syarat Indonesia, kalau kita ingin menjadi pemain utama di industri EV, dengan adanya bahan baku dimiliki. Kita harus memiliki supply chain yang sangat kuat mulai dari mining, upstream, yaitu ada mining refining. Ini yang sudah dijalankan pemerintah, dengan adanya hilirisasi nikel. Terus kemudian, midstream,” ujar Eko.
Eko menyebut pemerintah harus memulai untuk fokus ke midstream dengan membangun industri pembuat precursor dan battery cell yang masih diimpor.
“Midstream ini yang jadi masalah yang ada di Indonesia. Precursor itu di Indonesia belum ada. Bahan pembuat untuk baterai, battery cell,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa saat ini PT HLI Green Power (Hyundai – LGES) tengah membuat battery cell untuk kebutuhan Hyundai, tapi masih menggunakan precursor yang diimpor.
“Ini yang membuat kita di Indonesia kurang kompetitif, sehingga banyak industri yang lain yang ingin mendirikan battery cell itu ga di Indonesia. Ini beberapa partner kita yang ada di China, pemain besar di baterai itu. Indonesia bukan menjadi rujukan walaupun Indonesia kaya terhadap mineralnya,” ucapnya.
Ia mengaku Dharma Controlcable Indonesia sedang dalam studi pengembangan teknologi precursor dan battery cell dengan potential partners yang menguasai teknologi tersebut.
“Nah ini, kalau kita di Dharma Grup, semua yang ada disini. Kita sudah fokus di assembly sama di battery recycle. Di battery recycle, kita sudah mendirikan yaitu PT Dharma Energy Resources,” katanya.
Leave a reply
