Kendalikan Inflasi Medis, PERSI Minta Pembebasan Pajak Impor Obat dan Alkes

0
12

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) meminta pemerintah untuk membebaskan atau setidaknya mengurangi pajak impor obat dan alat kesehatan untuk menekan inflasi medis yang tinggi di Indonesia.

Ketua Kompartemen Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan PERSI,  dr. Kalsum Komaryani mengatakan inflasi bidang kesehatan di Indonesia, yang lebih tinggi dibandingkan inflasi komoditas lain, sudah terjadi sejak lama. Namun, akhir-akhir ini, memang lebih meningkat, katanya.

“Ini karena memang salah satu penyebabnya adalah harga obat dan alat kesehatan cukup tinggi,” ujarnya dalam webinar ‘Win-win Solution di Kala Inflasi Medis Menanjak’ yang diselenggarakan Theiconomics.com, Selasa, 6 Mei 2025.

Mantan Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan di Kementerian Kesehatan ini menambahkan tingginya harga obat dan alat kesehatan di Indonesia, diantaranya terjadi karena obat-obatan dan alat kesehatan yang diimpor dikenakan pajak barang mewah.

“Ini sebenarnya sudah berkali-kali rumah sakit juga mengharapkan adanya pembebasan atau pun penurunan pajak, sehingga harga-harga tersebut lebih affordable,” ujarnya.

Pada 2024, menurut Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun, OJK, inflasi medis di Indonesia mencapai 10,1%, jauh di atas rata-rata inflasi umum yang berada di kisaran 3%.

Baca Juga :   IFG Progress Beberkan Plus Minus SE OJK Tentang Asuransi Kesehatan untuk Atasi Inflasi Medis

Tingkat inflasi medis di Indonesia, kata Ogi, juga lebih tinggi dari rata-rata global yang berada di di level 6,5%.

Dalam acara diskusi yang sama, Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman mengatakan, dalam lima tahun terakhir, kesenjangan (gap) antara inflasi umum dan inflasi medis di Indonesia terus melebar. 

Gap-nya sekitar 10% antara inflasi kesehatan dan inflasi umum,” ujar Ibrahim.

Menurut Ibrahim inflasi kesehatan di Indonesia konsisten berada di atas 12% dan diproyeksikan mencapai 16,2% pada 2025. Hal ini terjadi karena sejumlah faktor, seperti tingginya biaya operasional rumah sakit dan alat kesehatan yang masih diimpor.

Kalsum mengatakan pihak rumah sakit juga terus melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan biaya kesehatan.

“Untuk pengendalian biaya di rumah sakit, yang terpenting sekarang adalah pelayanan medis ini harus distandarisasi dengan mengacu ke PPK atau panduan praktik klinis dan clinical pathway, dimana memang saat ini Kemenkes pun sudah menerbitkan Pedomaan Nasional Pelayanan Kedokteran yang akan diacu oleh rumah sakit menyusun PPK dan clinical pathway ini,” ujarnya.

Standarisasi ini, jelas Kalsum penting untuk “menghindari berbagai pelayanan yang tidak perlu (unnecessary services)”,  seperti pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan lain-lain yang tidak perlu. 

Baca Juga :   Inflasi Medis Terus Meningkat, Simak Strategi Sompo Insurance Mengendalikan Klaim Asuransi Kesehatan

“Kita akan strict pada dan patuh pada PPK,” ujarnya.

Selain harus ada standarisasi pelayanan yang mengacu pada PPK, menurut Kalsum, harus ada formularium pelayanan obat dan alat kesehatan.

“Dalam JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sendiri ada formularium nasional. Di rumah sakit bisa saja membuat formularium yang dimodifikasi, tetapi tetap mengacu ke formularium (nasional) tersebut,” ujarnya.

Untuk menekan biaya medis, tambahnya, rumah sakit juga harus melakukan efisiensi operasional, baik untuk bahan medis maupun non medis. Karena itu, salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui perencanaan pengadaan yang baik.

“Berikutnya juga adalah bagaimana kita harus me-reduce waste. Beberapa rumah sakit sudah menjalankan lean management bagaimana kita tidak menyia-nyiakan bahan yang bersisa,” ujarnya.

Penggunaan sistem informasi, tambahnya, juga merupakan upaya pengendalian biaya di rumah sakit.

“Saya kira ini sudah menjadi kewajiban, apalagi sekarang rumah sakit dituntut menggunakan electronic medical record. Jadi, sistem informasi ini juga dari A sampai Z atau hulu sampai hilir, dari saat pasien mendaftar sudah diberlakukan, sampai mendapatkan pelayanan hingga pasien ini selesai dilayani. Nanti akan menghasilkan resume medis. Itu juga semua di dalam sistem informasi,” ujarnya.

Baca Juga :   IFG Progress Beberkan Plus Minus SE OJK Tentang Asuransi Kesehatan untuk Atasi Inflasi Medis

Meski melakukan berbagai upaya pengendalian biaya, Kalsum menjamin rumah sakit tetap berkomitmen untuk memberikan pelayanan dengan mutu yang baik dan menjaga keselamatan pasien.

Di sisi lain, PERSI juga berharap agar “rumah sakit mendapatkan pembayaran yang representatif.”

“Yang terjadi sekarang adalah memang rumah sakit juga berakrobat atau bermanuver, kalau sekiranya pendapatan dari JKN ini kurang, ya, barangkali ditutupi oleh pendapatan non JKN,” ujarnya.

Ia mengungkapkan 70%-90% pasien yang dilayani di rumah sakit pemerintah adalah peserta JKN. Sisanya, asuransi swasta dan bayar sendiri.

Sedangkan 50%-80% pasien yang dilayani di rumah sakit non pemerintah adalah peserta JKN.

“Jadi, memang JKN ini pembeli terbesar untuk pelayanan-pelayanan di rumah sakit yang digunakan oleh masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics