
Menkopolhukam: Tunggu Proses Hukum soal Slot Orbit 123 Derajat Bujur Timur

Tangkapan layar, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD/Iconomics
Langkah pemerintah menempuh jalur hukum terkait dengan dugaan korupsi terkait pengelolaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan sudah melalui pertimbangan dari berbagai aspek dan menyeluruh. Karena itu, seluruh pihak diminta untuk menunggu proses hukum masalah itu.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan, pihaknya tidak hanya mendasarkan dugaan itu pada audit reguler. Melalui Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pemerintah juga melakukan audit tujuan tertentu (ATT).
“Hasilnya ditemukan, terjadi dugaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang kemudian merugikan keuangan negara, dan berpotensi akan terus merugikan keuangan negara. Contohnya, pemerintah Indonesia telah membayar gugatan Avanti sebesar Rp 515 miliar, berdasarkan putusan arbitrase di London pada 2019,” kata Mahfud dalam keterangan resminya secara virtual beberapa waktu lalu.
Mahfud mengatakan, pemerintah Indonesia saat ini sedang menerima tagihan kembali sebesar US$ 21 juta, sebagaimana putusan arbitrase di Singapura atas gugatan dari perusahaan Navajo. Merujuk hasil audit BPKP, barang yang diterima dari perusahaan Navajo sebagian besar diduga hasil selundupan lantaran tidak ditemukan dokumen pemberitahuan impor barang di Bea Cukai.
Sedangkan, barang yang dilengkapi dengan dokumen, hanya memiliki nilai berkisar Rp 1,9 miliar atau sekitar US$ 132 ribu. Karena itu, bila kasus ini lantas menuai kontroversi, maka pendapat yang berbeda itu perlu dihargai.
“Saat ini ikuti saja proses hukum yang sedang berlangsung sesuai dengan ketentuan hukum. Untuk sampai pada proses hukum ini, kita sudah membahas dengan berbagai pihak terkait, bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali,” ujar Mahfud.
Di samping masalah hukum itu, kata Mahfud, pemerintah akan terus berupaya menyelamatkan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur, dengan tujuan kepentingan pertahanan negara. Selama proses penyelesaian kontrak dengan berbagai pihak, pemerintah telah berhasil memperpanjang masa kontrak berlaku satelit pada 2018 di sidang International Telecommunication Union (ITU).
“Kemudian mendapat perpanjangan lagi dari ITU sampai tahun 2024 yang akan datang, dengan catatan harus ada kepastian bahwa tahun 2024, slot orbit tersebut sudah benar-benar terisi dengan satelit,” kata Mahfud.
Lebih jauh Mahfud mengatakan, dalam waktu dekat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate akan menghadiri undangan dari ITU untuk memastikan pemanfaatan satelit serta hal yang menyangkut dengan pengisian slot satelit itu.
“Hasilnya memang harus dibawa ke ranah hukum, kita sekarang sedang mengagendakan upaya baru untuk mempertahankan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur di depan sidang ITU. terima kasih,” katanya.
Awal Kasus Slot Orbit 123
Kisah Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur bermula sejak Satelit Garuda-1 keluar orbit pada 19 Januari 2015. Fakta itu membuat terjadinya kekosongan pengelolaan oeh Indonesia. Berdasarkan aturanInternational Telecommunication Union (ITU) yang ada di bawah PBB, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu 3 tahun untuk kembali mengisi slot itu. Jika tak dipenuhi maka slot dapat digunakan negara lain.
Slot ini dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kementerian Pertahanan lantas meminta hak pengelolaan yang beralasan pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Untuk mengisi slot itu, mereka menyewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communication Limited (Avanti).
Dari sini masalah mulai muncul. Menurut Mahfud, Kemenhan membuat kontrak dengan Avanti padahal belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Kontrak dengan Avanti diteken pada 6 Desember 2015, padahal persetujuan di Kominfo untuk pengelolaan Slot Orbit 123 baru keluar 29 Januari 2016.
“Belum ada kewenangan dari negara dalam APBN bahwa harus mengadakan itu, melakukan pengadaan satelit dengan cara cara itu,” kata Mahfud seperti dikutip Tempo pada 14 Januari lalu.
Selain dengan Avanti, Kemenhan juga melakukan kontrak dengan Navajo, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016. Saat itu juga anggaran belum tersedia. Pada 2016 anggaran sempat tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemenhan.
Selanjutnya, Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 Bujur Timur kepada Kemenkominfo pada 25 Juni 2018. Di bawah Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara, keputusan tentang penggunaan filing satelit Indonesia pada Orbit 123 Bujur Timur untuk filing satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A diberikan pada pihak swasta, yakni PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).
Bertahun berlalu, PT DNK juga tak mampu menyelesaikan residu permasalahan akibat Satkomhan. Malah, Avanti kemudian menggugat Indonesia ke Pengadilan Arbitrase Inggris. Mereka menuding Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang ditandatangani.
Pada 9 Juli 2019, Pengadilan Arbitrase Inggris memutus Indonesia harus membayar denda sebesar Rp 515 miliar. Denda itu terkait dengan biaya sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, biaya filing satelit. Menurut Mahfud Indonesia telah membayar denda ini. “Jadi negara membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya,” kata Mahfud Md.
Belum selesai di situ, belakangan Navajo juga menggugat Indonesia. Kali ini di Pengadilan Arbitrase Singapura. Sama halnya dengan di Inggris, pengadilan juga memutus Indonesia harus membayar denda. Kali ini besarnya Rp 304 miliar.
Mahfud mengatakan jika dibiarkan, kasus ini akan terus merugikan Indonesia. Apalagi ada kemungkinan perusahaan lain yang terkait dengan kontrak juga akan menggugat Indonesia.
Leave a reply
