Neraca Dagang Surplus, Jangan Senang Dulu

0
577
Reporter: Petrus Dabu

Neraca dagangan Indonesia pada Februari 2020 ini mencatatkan surplus yang besar yaitu US$ 2,34 miliar, sedangkan pada Januari lalu masih tercatat defisit sebesar US$ 636,7 juta. Sehingga secara akumulatif, Januari-Februari 2020 ini kinerja perdagangan internasional Indonesia mencatatkan surplus sebesar US$ 1,7 miliar.

“Cukup besar surplus kita, ini lebih disebakan karena  imporya turun cukup signifikan dan ekpornya naik,” ujar  Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti di Jakarta, Senin (16/3).

Sepanjang Februari 2020, ekspor Indonesia tercatat sebesar US$ 13,12 miliar. Sedangkan impor pada bulan yang sama sebesar US$ 11,6 miliar. Secara akumulatif, pada Januari-Februari 2020, total ekspor mencapai US$ 27,57 miliar. Sedangkan total impor sebesar US$ 25,87 miliar.

Secara umum surplus neraca perdagangan merupakan indikator positif bagi perekonomian suatu negara.  Tetapi, menurut Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), idelanya surplus terjadi pada saat kinerja impor juga naik bersamaan dengan kenaikan ekspor.

Karena barang-barang yang diimpor ke Indonesia mayoritas adalah bahan baku/penolong dan barang modal.  Mengacu pada data BPS pada Februari lalu, impor bahan baku mencapai 76,63% dari total nilai impor. Sedangkan impor barang modal dan konsumsi masing-masing sebesar 15,77% dan 7,6% dari total impor.

Baca Juga :   Setelah Filipina, Isuzu Jajaki Ekspor ke Negara Lainnya

“Biasanya dalam modeling kalau impor bahan bakunya turun, efeknya 3-5 bulan ke depan ekspornya juga turun.  Jadi surplus yang ada sekarang ini bisa dibilang bukan indikator yang positif,” ujar Bhima kepada Iconomics, Senin (16/3).

Apalagi tambahnya, impor dari China turun hampir 50% dibandingkan Januari 2020 lalu. “Padahal bahan baku sebagian industri kita itu sebagian besar berasal dari China,” ujarnya.

Berdasarkan data yang dirilis BPS, pada Februari lalu total impor China ke Indonesia sebesar US$ 1,98 miliar, turun 49,6% dibandingkan Januari 2020 yang masih sebesar US$ 3,94 miliar. “Kita mengalami surplus tetapi di tengah kondisi yang kurang bagus. Idealanya surplus terjadi karena ekspornya naik dan impornya naik tetapi tidak setinggi ekspor. Itu yang produktif,” ujarnya.

Agar tidak menimbulkan gangguan pada produksi di dalam negeri, Bhima menyarankan kepada pemerintah untuk bisa mengatasi masalah penurunan impor bahan baku dari China ini. Ada dua opsi yang dia usulkan. Pertama, segera  cepat mencari negara pengganti bahan baku impor, apa lagi untuk industri bahan makanan dan minuman. “Karena sebenatar lagi Ramadhan dimana secara seasional permintaan tinggi di dalam negeri,” ujarnya.

Baca Juga :   Bea Cukai Permudah Prosedur Impor dan Ekspor Barang Curah untuk Industri

Opsi kedua, bila tak ada negara lain yang bisa memasok bahan baku, maka diganti dengan produksi barang subtitusi di dalam negeri. “Dengan berbagai cara ya, dengan insetif kebijakan fiskal khususnya,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics