
IFG Progress Beberkan Plus Minus SE OJK Tentang Asuransi Kesehatan untuk Atasi Inflasi Medis

Ilustrasi/ist
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pelaku industri asuransi Tanah Air sedang membahas rancangan Surat Edaran (SE) OJK tentang Asuransi Kesehatan untuk mengatasi inflasi medis yang terus melonjak dalam beberapa tahun terakhir.
Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman mengatakan beleid tersebut bertujuan untuk menyederhankan dan momoderasi tekanan yang terjadi pada asuransi kesehatan yang terjadi saat ini.
Beberapa poin yang diatur dalam draf SE tersebut, diantaranya, asuransi kesehatan harus memiliki tenaga medis dengan kualifikasi dokter dan ahli asuransi kesehatan dalam wadah Medical Advisory Board.
Selain itu, produk asuransi kesehatan diharuskan menerapkan skema co-payment sebesar 10% dari total klaim atau maksimal Rp3 juta untuk rawat inap dan Rp300.000 untuk rawat jalan. Underwriting produk asuransi juga harus melalui Medical Chek Up (MCU) yang kemungkinan akan berlaku tahun depan.
“Tentu akan ada plus dan minusnya,” ujar Ibrahim dalam webinar ‘Win-win Solution di Kala Inflasi Medis Menanjak’ yang diselenggarakan Theiconomics.com, Selasa, 6 Mei 2025.
Dari sisi klaim dan profitabilitas, ketentuan dalam SE OJK itu akan mengurangi klaim dan menekan loss ratio perusahaan asuransi karena adanya MCU di awal dan co-payment.
Dari sisi pemasaran dan daya tarik produk, proses seleksi risiko lebih baik, yaitu hanya peserta dengan kondisi kesehatan yang relatif tidak kritis atau kronis yang dapat memperoleh pertanggungan.
“Jangan sampai begitu masuk (menjadi nasabah) langsung menghadapi berbagai macam tagihan,” ujar Ibrahim.
Dari sisi sumber daya manusia dan sistem informasi, SE OJK itu juga dapat meningkatkan kualitas utilization review, mengurangi fraud, serta memastikan proses klaim lebih akurat dan efisien.
Namun demikian, kata Ibrahim, SE OJK itu juga berpotensi berdampak negatif.
“Mungkin akan terjadi potensi peningkatan lapse (polis tidak aktif karena nasabah tak membayar premi) karena masyarakat yang sebelumnya cashless ke rumah sakit, mereka harus menanggung porsi co-payment,” ujarnya.
Dampak negatif lainnya, tambah Ibrahim, bisa menurunkan jumlah peserta baru terutama yang merasa keberatan menjalankan MCU. Aturan tersebut juga dapat meningkatkan biaya operasional bagi perusahaan asuransi karena adanya tambahan perekrutan SDM, seperti merekrut Medical Advisory Board yang tidak murah bagi perusahaan-perusahaan asuransi kesehatan.
Sebelumnya, Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun, OJK, mengatakan SE OJK yang kemungkinan terbit Mei ini, akan menjadi panduan bagi seluruh stakeholder di industri kesehatan, terkait dengan kriteria perusahaan asuransi yang dapat memasarkan asuransi kesehatan, pembentukan dewan penasihat medis atau fungsi medical advisory board, desain produk asuransi kesehatan, penerapan manajemen risiko, dan koordinasi penyelenggaraan jaminan kesehatan dengan BPJS kesehatan.
SE OJK ini, tambahnya “diharapkan akan memperbaiki” ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.
Ogi mengungkapkan pada 2023, rasio klaim asuransi kesehatan di Indonesia mencapai 97,5% dan pada 2024 mencapai 71,2%.
“Namun, perlu dicatat, bahwa klaim rasio itu belum termasuk opex yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi yang besarnya 10-15%. Jadi, kalau combined ratio-nya itu untuk tahun 2023 itu masih di atas 100%, kemudian 2024 sedikit di bawah 100%,” ujar Ogi pada 11 April lalu.
Selama Januari-Februari 2025, ungkap Ogi, memang terjadi penurunan klaim rasio asuransi kesehatan.
Untuk asuransi jiwa baik konvensional maupun syariah sebesar 45,42% dan asuransi umum sebesar 34,70%.
“Tetapi perlu disadari ini baru dua bulan dan prosesnya itu bisa saja klaim-klaim itu belum disampaikan kepada perusahaan asuransi. Jadi, kita mesti memonitor jangka waktu yang lebih panjang untuk berapa sebenarnya klaim rasio yang wajar dan kemudian bagaimana perbaikan-perbaikan dari segi risk management dan governance dari perusahaan asuransi dan ekosistem industri kesehatan kita menjadi lebih baik,” ujarnya.
Penurunan klaim rasio tersebut, kata Ogi, juga terjadi karena perusahaan-perusahaan asuransi melakukan repricing terhadap premi yang dibebankan kepada pemegang polis.
Repricing, jelasnya, dilakukan karena inflasi medis di Indonesia terbilang tinggi yaitu 10,1% pada 2024, jauh di atas rata-rata inflasi umum yang berada di kisaran 3%.
Peningkatan inflasi medis, tambah dia, memang juga terjadi di seluruh dunia, dengan rata-rata 6,5%.
“Ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk kita melakukan perbaikan-perbaikan untuk ekosistem kesehatan di Indonesia,” ujar Ogi.
Ibrahim mengatakan dalam lima tahun terakhir, kesenjangan (gap) antara inflasi umum dan inflasi medis di Indonesia terus melebar.
“Gap-nya sekitar 10% antara inflasi kesehatan dan inflasi umum,” ujar Ibrahim.
Menurut Ibrahim inflasi kesehatan di Indonesia konsisten berada di atas 12% dan diproyeksikan mencapai 16,2% pada 2025. Hal ini terjadi karena sejumlah faktor, seperti tingginya biaya operasional rumah sakit dan alat kesehatan yang masih diimpor.
Penyebab lainnya adalah gaya hidup yang tidak sehat, tingkat stres yang tinggi, polusi lingkungan dan perubahan iklim, sehingga meningkatkan risiko masyarakat menderita penyakit kronis yang memerlukan perawatan jangka panjang dan biaya tinggi.
Selain itu, inflasi kesehatan di Indonesia juga tinggi karena tidak tersedianya clinical pathway sebagai standar, sehingga mengakibatkan perbedaan tindakan medis antar provider kesehatan untuk diagnosis penyakit yang sama. Akibatnya, terjadi praktik tindakan medis yang berlebihan (over treatment, over utilisation).
Inflasi medis ini, kata Ibrahim, memang fenomena yang juga terjadi di berbagai negara. Masalahnya, papar Ibrahim, pada saat yang sama Indonesia juga memiliki tingkat out of pocket health expenditure yang tinggi.
Out of pocket health expenditure adalah pengeluaran langsung untuk layanan kesehatan yang dibayarkan oleh pasien sendiri, bukan oleh asuransi atau pihak ketiga lainnya.
“Ini menjadi salah satu sumber yang bisa mendorong masyarakat fall in under poverty line, karena spending kesehatannya juga tinggi,” ujarnya.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, kata Ibrahim, rata-rata pengeluran kesehatan out of pocket (OOP) masyarakat Indonesia mencapai Rp5,02 juta, setara dengan 5,7% dari pendapatan tahunan rumah tangga.
Biaya terbesar dikeluarkan untuk rawat inap sebesar Rp2,9 juta, biaya berobat Rp1,9 juta dan biaya preventif hanya Rp164.000.
“Kelihatan bahwa porsi dari biaya preventifnya rendah banget dan itu yang menyebabkan prevalensi dari penyakit yang kemudian menyebabkan health spending-nya meningkat menjadi besar, karena tidak dikelola pada prevention stage,” ujarnya.
Masalah lain yang juga dihadapi Indonesia, bila dibandingkan dengan negara lain seperti China dan Singapura, serta negara berkembang lainnya, ada kesenjangan antara pertumbuhan pendapatan perkapita dan pengeluaran perkapita untuk kesehatan. Rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita hanya 2%, sementara pengeluaran untuk kesehatan tumbuh 5%.
“Ini yang sekali lagi menjadi salah satu sumber dari sekian sumber yang mungkin menyebabkan kenapa menurut World Bank 60% populasi Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, karena spending kesehatannya sangat besar,” ujar Ibrahim.
Leave a reply
