Apkasindo: Kebijakan yang Membebani Dihapus Saja karena Perlambat Ekspor CPO

0
363
Reporter: Kristian Ginting

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai kehati-hatian pengusaha minyak sawit mentah (CPO) dalam mengekspor produknya menjadi salah satu faktor membuat harga tandan buah segar (TBS) tertekan. Pasalnya, tindakan ekstra hati-hati itu justru akan memperlambat ekspor CPO sehingga stok dalam negeri melimpah.

Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung menuturkan, dalam situasi ideal, kecepatan menjadi salah satu faktor penentu dalam ekspor. Namun, situasi saat ini yang antara lain karena regulasi, justru membuat pengusaha atau eksportir CPO menjadi hati-hati sehingga ekspor menjadi lambat.

“Jadi, stok CPO menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) itu sekitar 7,2 juta ton. Jumlah ini sekitar lebih dari 2 kali lipat dari stok normal atau sekitar 3 juta ton per bulan. Tidak ada yang diuntungkan dari situasi ini,” tutur Gulat saat dihubungi, Kamis (21/7).

Gulat mengatakan, untuk meningkatkan harga TBS dalam negeri, maka diperlukan kebijakan percepatan ekspor CPO. Karena itu, kebijakan berupa kewajiban pasar domestik (DMO), kewajiban harga domestik (DPO) dan flush out (FO) yang mengenakan biaya tambahan sebesar US$ 200 per ton kepada pemerintah yang dinilai memperlambat ekspor perlu dihapus sementara.

Baca Juga :   Phapros Mendorong Kontribusi Obat Etikal dan Ekspor untuk Memompa Kinerja 2023

Menurut Gulat, kebijakan-kebijakan yang tidak relevan itu akan menjadi beban yang menghambat percepatan ekspor CPO. Dampak lambatnya ekspor itu tentu saja akan merugikan berbagai pihak, misalnya negara akan kehilangan devisa, lalu pendapatan korporasi akan berkurang dan harga TBS di petani akan hancur.

“Di saat seperti ini terutama di masa krisis resesi, salah satu cara untuk mengantisipasinya adalah dengan meningkatkan devisa lewat ekspor. Jadi, seperti yang saya bilang bahwa tidak ada yang diuntungkan dari situasi ini,” ujar Gulat.

The Iconomics mendapatkan informasi bahwa pengusaha atau eksportir CPO terkesan ekstra hati-hati atau takut untuk mengekspor, salah satunya karena penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya untuk periode Januari-Maret 2022. Kasus itu melibatkan Permata Hijau Group, Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, dan PT Musim Mas.

“Secara normatif, kalau mengikuti aturan kenapa mesti takut. Jadi, tergantung orangnya,” ujar Gulat.

Seperti Gulat, anggota Komisi VII DPR Mukhtarudin mendukung pencabutan kebijakan DMO dan DPO untuk sementara. Tujuannya untuk mempercepat pengurangan tangka-tangki CPO yang sudah kelebihan stok. Apalagi menurut data Gapki ekspor selama 3 bulan ini hanya 2,5 juta ton dari lazimnya sekitar 9 juta ton.

Baca Juga :   Mendag Lutfi: Kebijakan DMO Baru Dinaikkan Jadi 30% dan HET Minyak Goreng Diperkuat

“Dengan demikian, pabrik kelapa sawit (PKS) produksinya maksimal lagi dan bisa membeli TBS dengan harga yang bagus dan menguntungkan petani (sawit),” kata Mukhtarudin.

Sebelumnya, Kemenkeu mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 Tahun 2022 tentang Perubahan Tarif Pungutan Ekspor Terhadap Seluruh Produk Kelapa Sawit dan Turunannya. Adapun kebijakan tersebut mulai berlaku dari 15 Juli hingga 31 Agustus 2022 mendatang.

Kebijakan ini dinilai belum cukup untuk mendongkrak harga TBS sehingga berbagai pihak antara lain Apkasindo dan Gapki mengusulkan agar pemerintah menghentikan sementara kebijakan DMO dan DPO untuk mempercepat ekspor minyak sawit mentah (CPO).

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics