Bagaimana Prospek Industri Sawit Tahun 2020 Ini?

0
709
Reporter: Petrus Dabu

Industri sawit Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan pada tahun 2020 ini. Dari sisi produksi, diperkirakan pertumbuhannya lebih rendah dari tahun lalu. Sementara dari sisi pemasaran, pasar ekspor masih sulit ditebak terutama karena tekanan dari Uni Eropa yang diperkirakan masih berlanjut tahun ini. Pasar domestik relatif lebih bisa diprediksi, diantaranya karena ada kebijakan mandatori pencampuran biodiesel pada solar.

Tahun 2019 lalu, produksi CPO dan PKO Indonesia mencapai 51,7 juta ton. Ada peningkatan sekitar 4 juta ton dibandingkan produksi tahun 2018. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki)  Joko Supriyono mengatakakan meski tidak bisa dipastikan, produksi pada tahun 2020 ini akan tetap naik. Hanya saja menurut dia kenaikannya diperkirakan tidak sebesar kenaikan pada 2019 lalu.

Setidaknya ada dua faktor yang membuat kenaikan produksi akan melambat. Pertama, karena musim kemarau berkepanjangan pada 2019 lalu. Menurut ahli agronomi, jelas Joko, kekeringan tahun lalu akan berdampak pada produksi, minimal 8 bulan hingga 1,5 tahun berikutnya.

Faktor kedua, menurutnya adalah kondisi finansial perusahaan dan petani sawit yang relatif kurang baik pada tahun lalu akibat harga sawit yang turun sejak 2018. Karena kondisi finansial tersebut, kemungkinan pada tahun lalu banyak petani yang mengurangi pemupukan. Dampak dari pengurangan pupuk ini, menurut dia bisa sampai dua tahun ke depan.

Baca Juga :   Prospek Minyak Sawit Tahun 2022

Mempertimbagkan dua faktor tersebut, Joko mengatakan peningkatan produksi pada tahun ini diperkirakan lebih rendah dari tahun 2019. “Kalau tahun lalu naik 4 juta ton, tahun ini pasti engga sampai 4 juta,” ujarnya.

Untuk pasar ekspor sendiri tahun 2019 lalu, volume ekspor olahan CPO dan turunannya, biodiesel dan oleochemical  mencapai 36,1 juta ton naik 4% dibandingkan 2018. Sedangkan nilai ekspornya mencapai US$ 19 miliar, turun 17% dibandingkan tahun 2018 yang mencapai US$ 23 miliar. Menurutnya, kinerja ekspor tersebut masih terbilang bagus di tengah kondisi defisit neraca perdagangan Indonesia yang mencapai US$ 3,5 miliar hingga November 2019.

“Tahun ini 2020, kita enggak tau, mudah-mudahan tahun ini tetap bagus, di tengah situasi global yang tidak makin stabil, tetapi makin volatile,” ujarnya.

Menurut Joko isu yang mendominasi di pasar ekspor pada tahun ini diperkirakan masih tetap sama yaitu kelanjutan dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) Uni Eropa. “Isunya masih akan seputar itu. Pasti Eropa akan tetap menjadi tren setter untuk isu mengenai sustainability. Tetapi saya pikir dengan Indoensia yang terus konsisten mengwal WTO mudah-mudahan isunya menjadi imbang,” tandasnya.

Baca Juga :   Indef Khawatir Permendag soal DMO dan DPO Justru Picu Kenaikan Harga Minyak Goreng

Selain Uni Eropa, ekonomi China juga berpengaruh. Saat ini, jelas Joko China mengalamai  slowing down akibat wabah virus Corona. Tetapi, ia berkeyakinan masalah tersebut akan bisa diatasi sehingga bisa menjadi isu sesaat (temporary).

Tahun lalu, dari 7 juta ton impor CPO China, sebanyak 5,4 juta ton berasal dari Indonesia. Sisanya dari Malaysia.

Sementara India, negara yang juga menjadi pasar ekpsor utama CPO Indonesia, pada 2019 lalu, kinerja ekpsornya turun 36,6% akibat kebijakan tarif impor yang tinggi. Tetapi, Joko optimis hambatan dagang dengan India akan bisa diatasi oleh pemerintah Indonesia sehingga tahun ini ekpsor ke sana pun akan kembali naik. “Walaupun dengan dinamika soal tarif tetapi India  juga masih cukp besar tahun lalu,” ujarnya.

Berbeda dengan pasar ekspor yang tak menentu, Joko mengatakan pasat domestik relatif bisa diprediksi.  Di dalam negeri sendiri pemerintah mencanangkan program pencampuran biodiesel sebesar 30% (B30) mulai Januari tahun ini, setelah sebelumnya hanya 20% (B20). Penyerapan produk sawit untuk biodiesel pada tahun 2019 lalu sebesar 5,7 juta ton naik 51%.

Baca Juga :   Kolaborasi Gapki Bersama NU untuk Tingkatkan Produktivitas Petani NU

Selain biodiesel, penyerapan dari industri makanan dan oleochemical, kata Joko, juga konsisten naik. Tahun lalu, indusri makanan menyerap 9,8 juta ton, naik 49% dibandingkan tahun 2018. Sedangkan olechemical pada tahun 2019 lalu yang terserap pasar domesitk naik 9%.

Over all pasar domesitk kita menguat cukup signifikan, artinya kalau secara persentase dibandingkan tahun lalu naik 25%,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics