
Mengukur Potensi Sagu di Kalbar dan Sumber Pangan Nasional

Potensi produk sagu sebagai bahan pangan dan sumber energi/Istimewa
Pandemi Covid-19 disebut mempercepat transformasi digital di Indonesia. Karena itu, berbagai aktivitas pun dilakukan dengan kebiasaan baru terutama lewat sistem daring. Mulai dari proses pembelajaran sekolah hingga aktivitas perkantoran.
Di samping percepatan transformasi digital, isu pangan pun mencuat di masa pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Isu ini semakin membetot perhatian publik selepas Rusia menginvasi Ukraina karena menyebabkan kenaikan harga komoditas global termasuk di dalam negeri.
Akibatnya masyarakat terbebani dengan kenaikan harga pangan seperti kedelai, gandum dan jagung. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan Indonesia ke produk pangan impor cukup tinggi. Itu sebabnya, untuk menghadapi isu pangan tersebut, pemerintah lewat Kementerian Pertanian merancang peta jalan diversifikasi pangan 2020-2024.
Dalam peta jalan itu terdapat 6 komoditas pangan lokal sumber karbohidrat non-beras yang potensial menggantikan nasi, yaitu singkong, talas, sagu, jagung, pisang, dan kentang. Salah satu potensi yang belum banyak dilirik pemerintah adalah sagu.
Di Kalimantan Barat (Kalbar), misalnya, potensi sagu sebenarnya cukup besar untuk dimanfaatkan. Adalah Edy Gunawan, pembina paguyuban petani sagu Kalbar mengatakan, betapa potensi sagu di wilayanya masih belum dimaksimalkan. Padahal, hutan di Kalbar kaya akan sumber bahan sagu. Meski merujuk data Kementerian Pertanian ternyata produksi sagunya masih kecil sekitar 2.768 ton per tahun.
“Angka ini bisa saja bukan angka riilnya. Meski penting untuk diperbarui, produk sagu di Kalimantan Barat itu dari sisi kualitas justru jauh lebih unggul dari daerah lainnya,” ujar Edy dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu.
Karena itu, kata Edy, untuk memaksimalkan potensi sagu di Kalbar, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian kiranya bersedia memberikan perhatian khusus kepada petani sagu. Soalnya, sagu ini memberi manfaat ekonomi secara berkelanjutan dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.
“Dulu sagu di Kalimantan Barat hanya puluhan ribu saja per batang. Setelah dimanfaatkan, harganya kini meningkat menjadi jutaan per batang. Artinya sagu ini memang berpotensi mendorong perekonomian rakyat. Jadi, kami mohon agar Kementerian Pertanian memberikan perhatian khusus ke kami di Kalimantan Barat ini,” kata Edy.
Selain menjadi sumber altenatif bahan pangan, limbah sagu juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya. “Limbah sagu saja bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak dan arang. Bahkan limbah sagu juga bisa dijadikan sumber alternatif energi bio massa,” kata Edy.
Sebelumnya, merujuk data Kementerian Pertanian, produksi sagu dalam 5 tahun terakhir mengalami penurunan. Pada 2017, misalnya, produksi sagu secara nasional mencapai 432.913 ton; selanjutnya 463.542 ton di 2018; lalu, 359.838 ton di 2019; kemudian, 365.665 ton di 2020; dan 381.065 ton di 2021.
Dari jumlah ini, Riau merupakan provinsi yang paling banyak memproduksi sagu diperkirakan 274.807 ton pada 2021. Lalu, diikuti Papua yang diperkirakan 69.421 ton, Maluku diperkirakan 10.269 ton dan Kalimantan Selatan 3.724 ton.
Kementerian Pertanian memperkirakan pada 2021 areal sagu nasional seluas 206.150 hektare, luasnya sedikit bertambah dari tahun sebelumnya yang sebesar 200.518 hektare. Indonesia disebut memiliki potensi lahan sagu mencapai 5,5 juta hektare. Namun pemanfaatannya baru mencapai 5%.
Leave a reply
