
SCI Temukan Kerugian Sekitar Rp 1,6 T soal Distribusi Sapi Potong di Indonesia

Logo SCI/Dokumentasi SCI
Supply Chain Indonesia (SCI) menemukan kesalahan penanganan pendistribusian sapi potong di Indonesia yang diperkirakan menyebabkan kerugian senilai Rp 1,625 triliun per tahun. Ketiadaan peralatan dan fasilitas disebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kerugian tersebut.
Karena itu, kata Chairman SCI Setijadi, perlunya perbaikan proses transportasi hewan ternak untuk mengurangi kerugian berupa penyusutan bobot dan mutu ternak selama perjalanan akibat dehidrasi, luka, dan lainnya. Perkiraan nilia kerugian itu berdasarkan asumsi penyusutan sekitar 10% bobot sapi sebanyak 1 juta ekor per tahun.
“Bobot rata-rata sapi sekitar 325 kilogram (kg) per ekor dan harga per kg bobot hidup sapi sebesar Rp 50 ribu,” kata Setijadi dalam keterangan resminya, Senin (20/6).
Setijadi menuturkan, penanganan sapi dan hewan ternak lainnya ketika dalam proses transportasi harus merujuk aspek kesejahteraan hewan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan tahun 2012. Dengan demikian, perbaikan transportasi harus melibatkan sejumlah pihak yang bisa menyediakan fasilitas untuk mendukung kebutuhan tersebut.
Salah satu pihak yang perlu terlibat penyediaan fasilitas khusus untuk transportasi hewan ternak, kata Setijadi, adalah pelabuhan. Dalam skala yang lebih besar, pemerintah perlu mempertimbangkan pengembangan pelabuhan khusus ternak.
“Penggunaan kapal khusus ternak juga sangat penting dalam perbaikan transportasi ternak. Kondisi dan fasilitas kapal biasa yang tidak memadai untuk ternak dapat berdampak buruk. Misalnya, sapi mengalami heat stroke yang dapat berujung pada kematian akibat ditempatkan pada palka bawah yang kondisinya sangat panas,” ujar Setijadi.
Menurut Setijadi, pemerintah perlu menata dan mengembangkan rantai pasok secara end to end untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses secara keseluruhan. Misalnya, penataan dari sisi hulu dan pengembangan prosedur serta penataan kelembagaan yang mengatur proses konsolidasi ternak.
Sementara dari sisi infrastruktur, kata Setijadi, perlunya menyediakan sarana bongkar muat di berbagai simpul transportasi lainnya. Juga menyeiapkan armada baik untuk pengiriman ternak dari sentra pemasok ke pelabuhan keberangkatan, maupun dari pelabuhan tujuan ke rumah potong hewan (RPH).
“Pada sisi hilir, kapasitas dan fasilitas di RPH harus memenuhi standarisasi teknis dan proses, sehingga diperoleh kecepatan proses, serta kualitas dan keamanan daging sapi. Selanjutnya, dilakukan perbaikan prosedur dalam pendistribusian daging dari RPH ke jaringan retail termasuk pasar tradisional,” katanya.
Leave a reply
