
Setahun Jokowi-Ma’ruf, Ini Penilaian Core Indonesia dari Aspek Ekonomi

Direktur Peneliti Core Indonesia Piter Abdullah/The Iconomics
Center of Reform Economics (Core) Indonesia menyebut kinerja setahun pemerintahan Joko Widodo tidak bisa dinilai berdasarkan indikator-indikator pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan. Pasalnya, seluruh aspek tersebut terdampak pandemi Covid-19 sehingga tidak bisa dijadikan ukuran kegagalan pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin.
“Yang lebih relevan dijadikan ukuran bagaimana Jokowi menanggulangi pandemi sekaligus bagaimana Jokowi melindungi masyarakat dan dunia usaha dari dampak pandemi. Tetapi dalam hal ini penilaian tidak bisa dilakukan sekarang karena proses Itu masih berlangsung,” kata Direktur Riset Core Piter Abdullah saat dihubungi, Selasa (20/10).
Piter mengatakan, di tahun pertama dari periode kedua kepemimpinan Jokowi, komunikasi pemerintah justru semakin memburuk. Setahun terakhir ini aspek koordinasi dan komunikasi anggota kabinet Jokowi tidak memuaskan. Buktinya proses penerbitan Undang Undang Cipta Kerja menuai penolakan sebagian masyarakat karena buruknya komunikasi pemerintah.
Padahal, kata Piter, UU tersebut dirancang atas niat baik dan akan mampu meningkatkan nvestasi secara signifikan ke dalam negeri. “UU Cipta Kerja kalau disusun dan dikomunikasikan secara baik, akan diterima masyarakat tanpa gejolak. Saya yakin akan membantu peningkatan investasi secara signifikan,” kata Piter.
Di samping itu, Piter juga menyoroti kinerja beberapa anggota Kabinet Indonesia Maju kurang baik dan bahkan sulit untuk ditemukan di masa krisis saat ini. Seharusnya merekalah yang berada di depan untuk memimpin upaya penanggulangan dampak pandemi.
“Kinerja yang buruk para menteri sayangnya tidak cepat disadari Jokowi, terbukti hingga saat ini Jokowi tidak melakukan reshuffle. Sementara saya kira masyarakat mengharapkan segera ada perubahan,” kata Piter.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, tidak adil untuk menyoroti potensi terjadinya resesi di masa kepemimpinan kedua Jokowi. Pasalnya itu terjadi karena wabah Covid-19 sehingga semua negara juga mengalami kontraksi dan bahkan resesi. Akan tetapi, Faisal membenarkan bahwa pemerintah kurang mengantisipasi dan kurang baik dalam menangani wabah Covid-19.
“Sesudah (Covid-19) masuk, percepatan penyebarannya jauh lebih cepat dibanding negara lain. Kita terpapar yang relatif paling terakhir tapi kemudian ketika sudah terpapar paling cepat penyebarannya sehingga kita menjadi salah satu yang paling tinggi kasus Covid-19,” kata Faisal.
Dalam merespons dampak Covid-19, kata Faisal, pemerintah membuat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program ini selain menangani krisis kesehatan, juga memulihkan perekonomian karena terdampak Covid-19.
Total anggaran yang ditetapkan pemerintah dalam rangka program PEN itu mencapai Rp 695 triliun. Dari jumlah ini, alokasi untuk menangani krisis kesehatan hanya Rp 87,5 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan alokasi dukungan ekonomi.
“Bukan hanya dari sisi alokasi anggaran, implementasinya pun di kuartal II dan kuartal III, awal-awal masih relatif lambat penyerapannya. Karena masalah birokrasi dan koordinasi, sehingga sampai kuartal III, realisasi (anggaran PEN) masih di bawah 50%. Sekarang lebih cepat penyerapannya, tapi justru realisasi anggaran kesehatan paling sedikit,” kata Faisal.
“Jadi itu saya pikir PR terbesar pemerintah. Karena ini berkaitan dengan kemampuan kita untuk pulih ke depan. Kalau kita masih sulit untuk menahan laju wabah maka dari sisi ekonomi pun akan sulit untuk pulih.”
Sebelumnya, karena wabah Covid-19, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat di Kuartal I/2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan menjadi 2,97%. Sementara, Kuartal II/2020 pertumbuhan ekonomi justru terkontraksi hingga 5,32%. Karena Covid-19 ini pemerintah merevisi perkiraan pertumbuhan nasional di kisaran -0,6% sampai -1,7%.
Leave a reply
