
Berbagai Skenario Menjaga Likuiditas Lembaga Keuangan

Ilustrasi OJK/Harnas
Arus kas lembaga keuangan mengalami tekanan selama masa pandemi Covid-19 ini. Sementara di sisi lain, perbankan dan lembaga pembiayaan ‘dituntut’ melakukan restrukturisasi kredit kepada debitur mereka.
Hingga 26 Mei lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat industri perbankan telah merestrukturisasi kredit senilai Rp 517,2 triliun kepada 5,3 juta debitur. Sedangkan berdasarkan data per 2 Juni, total outstanding restrukturisasi yang dilakukan perusahaan pembiayaan sebanyak Rp 80,55 triliun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan program restrukturisasi kredit ini berjalan dengan lancar sejak digulirkan melalui POJK No 11 tahun 2020.
“Namun, ada governance yang kita minta, yang bisa di- restructure adalah nasabah yang kategori masih lancar. Kalau sudah diragukan enggak perlu di-restructuring,” ujar Wimboh saat silaturahmi virtual dengan wartawan di Jakarta, Kamis (4/6).
Sesuai dengan POJK No 11/2020 itu, perbankan diberikan fleksibilitas untuk menentukan skema restrukturisasi, bisa dengan tidak mengangsur pokok atau bunga pinjaman atau skema lainnya. Bank atau lembaga keuangan yang melakukan restrukturisasi juga mendapatkan insentif yaitu tidak membentuk cadangan. “Sehingga dari segi balance sheet-nya bank dan lembaga pembiayaan aman. Karena tidak perlu membentuk cadangan. Ini adalah insentif yang kita berikan,” ujar Wimboh.
Wimboh mengatakan dengan restrukturisasi, entah dengan tidak membayar angsuran pokok atau bunga, kolektabilitas mestinya menjadi lancar. Tetapi kenyataannya cash flow bank dan lembaga keuangan itu terganggu. Dus, likuiditas menjadi persoalan yang akan dihadapi oleh lembaga keuangan maupun perbankan.
“Karena baik di-restructuring maupun tidak di-restructuring ternyata likuiditasnya itu enggak ada yang masuk kecuali kalau membayar. Ternyata banyak yang dalam konteks ini kalau usaha memang tidak menghasilkan cash flow ini berarti likuiditasnya akan terganggu, karena di lain pihak lembaga keuangan maupun perbankan ini harus membayar dana pinjaman dari bank lain atau membayar dana masyarakat, suku bunganya. Sehingga pasti ada mismatch,” ujarnya.
Berbagai skenario mengatasi persoalan likuiditas
Dalam kondisi normal untuk mengatasi masalah likuiditas ini, biasanya dengan interbank call money melalui Pasar Uang Antar Bank (PUAB).
“Tetapi dalam kondisi ada tekanan kayak gini kami enggak yakin. Sekarang sih oke. Dengan berbagai kebijakan dari Bank Indonesia likuiditas di pasar melimpah. Tetapi kita harus jaga-jaga,” ujar Wimboh.
Menurutnya yang perlu diantisipasi adalah bagaimana kalau skema normal melalui interbank call money tidak jalan. Repo Surat Berharga Negara (SBN) tentu menjadi alternatif penyangga likuiditas, tetapi itu kalau bank atau lembaga keuangannya memiliki SBN. Atau dalam kondisi tertentu SBN sudah direpokan tetapi ternyata tekanan masih ada.
Pemerintah Jadi Penyangga Terakhir
Terkait repo SBN ke BI ini, beberapa waktu lalu Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan per 14 Mei 2020, data Bank Indonesia menunjukkan SBN yang dimiliki oleh bank-bank berjumlah Rp 886 triliun.
Dari Rp 886 triliun tadi, menurut Perry untuk Penyangga Likuiditas Makroprudential (PLM) minimal 6% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yaitu sebesar Rp 330,2 triliun. “Sisanya, sebesar Rp 563,6 triliun itu dapat direpokan ke Bank Indonesia,” jelas Perry.
Nah bagaimana kalau penyangga likuiditas melalui mekanisme interbank call money sudah tidak memungkinkan? Demikian juga repo SBN ke bank Indonesia, karena mungkin surat utangnya atau surat berharganya sudah habis?
Pemerintah melalui PP No 23 tahun 2020 sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk ini yaitu menggunakan dana pemerintah yang ditaruh di bank Peserta dan kemudian disalurkan ke Bank Pelaksana.
Wimboh mengatakan Bank Peserta adalah bank yang biasanya memang menjadi supplier di money market. Jumlah pinjaman likuiditas pemerintah yang bisa diklaim Bank Pelaksana ke Bank Peserta adalah sebesar jumlah kredit yang disalurkan kepada debiturnya.
Wimboh mengatakan selama ini bantuan likuiditas antar bank ini sebenarnya sudah biasa dipraktikan di pasar dimana bank kadang-kadang meng-cessie-kan kreditnya kepada bank lain dengan konsep business to business.
“Artinya kalau business to business antara Bank Peserta dengan Bank Pelaksana yang di-cessie-kan adalah kredit yang di-restructuring,” ujarnya. Dengan PP No 23 tahun 2020, Bank Peserta memiliki amunisi baru yaitu dukungan pendanaan dari pemerintah. Dana tersebut merupakan surat utang dari pemerintah yang dibeli oleh Bank Indonesia.
Wimboh mengatakan dari berbagai diskusi, harapannya suku bunga untuk pinjaman likuiditas dari pemerintah ini lebih murah dari bunga pasar sehingga Bank Peserta juga bisa mendapatkan margin. Rate dari Bank Peserta kepada Bank Pelaksana ditentukan secara business to business.
Apakah akan banyak Bank yang menggunakan fasilitas pinjaman likuiditas dari pemerintah ini? Menurut Wimboh untuk mendapatkan pinjaman likuiditas ini, bank yang menggunakan skema ini hanya bank dengan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudential 6% ke bawah.
“Kalau kita lihat semua bank disyaratkan mempunyai 6% minimal. Dan tentunya kalau kondisi PLM-nya masih tinggi, sehingga realisasi dari likuiditas dari dana pemerintah ini tidak akan banyak,” ujarnya.
Bank yang boleh mendapatkan pinjaman likuiditas dari pemerintah juga adalah bank dalam kategori sehat dan cukup sehat yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kementerian Keuangan dan BI.
Leave a reply
