Masa Depan Batu Bara dan Dekarbonisasi, Begini Tanggapan Direktur Utama PTBA

0
488

Ilustrasi pertambangan batubara/ABM

Pembangkit listrik terutama batu bara dituding sebagai penyumbang emisi karbon terbesar. Karena itu, seiring dengan perubahan iklim yang kian nyata, desakan untuk ‘mempensiunkan’ Pembangkit Listrik Tenga Uap (PLTU) batu bara kian sering terdengar.

Namun, Suryo Eko Hadianto, Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA), perusahaan batu bara milik negara Indonesia, tak sepakat batu bara dihilangkan. Menurutnya, batu bara adalah sumber energi murah yang tersedia berlimpah di Indonesia. Suryo mencurigai wacana mengelimisinasi batu bara dari sumber energi memiliki motif ekonomi agar teknologi PLTS bisa diadopsi masif.

“Saya melihat sebetulnya ini fenomena ekonomi. Karena apa? Pesaing terdekat yang paling kuat untuk energi baru terbarukan adalah batu bara. PLTU batu bara itu [biaya] per kwh sekitar 3-5,9 sen [dollar AS]. Sementara PLTS yang paling murah saat ini yang paling dekat dengan batu bara itu sekitar 3,5 sen per kwh. Itu [baru] panelnya, belum baterai storage-nya. Kalau dimasukan baterai storage sekitar 12-an sen,” ujar Suryo ketika menjadi pembicara dalam webinar dengan tema “Pengelolaan Kinerja BUMN untuk Kesinambungan Usaha yang Sehat dan Kompetitif,” Kamis (23/9).

Menurut Suryo isu dekarbonisasi dan batu bara adalah dua hal yang berbeda. Dekarbonisasi menurutnya terkait dengan bagaiamana upaya mengelola (manage) emisi karbon sedemikian rupa, sehingga komitmen global termasuk Indonesia dalam Paris Agreement tahun 2016 bisa terwujud.

Indonesia di dalam forum global tersebut telah menyampaikan bahwa akan mampu menurunkan emisi gas rumah kaca atau CO2 ini pada tahun 2030 sebesar 29% apabila menggunakan upaya sendiri. Namun, Indonesia juga berkomitnen untuk menurunkan lebih banyak lagi yaitu 41% dari gas rumah kaca apabila mendapatkan dukungan dan kerja sama internasional.

“Kalau memang isunya dekarbonisasi mestinya kita berorientasi bagaimana kita mengurangi emisi karbon yang terjadi. Tetapi dunia sekarang foksunya kok nembak ke batu bara?,” ujarnya.

Menurut Suryo teknologi Ultra Super Critical (USC) pada pembangkit batu bara saat ini sudah mampu mereduksi atau mengurangi emsisi karbon sampai 98%.

“Artinya emsi karbonnya tinggal 2%. Dengan emisi karbon yang tinggal 2% ini, coba bandingkan dengan PLTD, dengan pembangkit-pembangkit lain yang relatively tidak diadili, mereka masih jauh lebih besar [tingkat emisi],” ujarnya.

Suryo mengatakan dengan teknologi USC, pekerjaan rumah selanjutnya adalah fokus pada pengembangan carbon capture untuk yang 2% untuk mencapai target Paris Agreement yang menjadi komitmenya Indonesia, tanpa harus mengurangi konsumsi batu bara. “Dengan demikian, masyarakat tetap dapat energi yang murah. Paris Agreement tetap kita committed,” ujarnya.

Soal USC, sebagai pembanding, sebelumnya Greenpeace menyebutkan bahwa penggunaan teknologi tersebut tidak mengurangi polusi pada pembangkit batu bara.

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics