Pakar Hukum Pidana: Kasus Jiwasraya-Asabri Lebih Tepat Menggunakan UU Pasar Modal

0
1136

Pakar hukum pidana Universitas Pelita Harapan (UPH) Jamin Ginting menilai penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak membaca Undang Undang (UU) Keuangan Negara secara proporsional terutama dalam konteks perkara PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero). Ini penting agar penyidik bisa mencermati sumber dana dari Jiwasraya dan Asabri sehingga tidak asal menyita aset secara serampangan.

“Apakah berasal dari keuangan negara atau berasal dari premi asuransi milik masyarakat. Jadi, penyidik Kejaksaan harus membaca Pasal 2 huruf h UU tersebut untuk mengetahui persentase yang termasuk kekayaan negara, kekayaan Jiwasraya dan berapa persentase dana masyarakat,” kata Jamin di Jakarta, Selasa (13/7).

Menurut Jamin, Kejaksaan kurang pas dan tidak bijak apabila menyimpulkan dengan memukul rata seluruhnya adalah kekayaan negara. Juga kasus korupsi Jiwasraya dinilai kurang tepat dikategorikan peristiwa korupsi.

Bila dianalisis lebih mendalam, kata Jamin, kasus Jiwasraya-Asabri ini lebih tepat dari awal diproses dengan peraturan perundang-undangan pasar modal, sehingga terlihat due process of law yang adil buat semua pihak. Apalagi gagal bayar dinilai menjadi dasar untuk menetapkan kasus Jiwasraya sebagai pidana korupsi dan itu pula menjadi dasar penetapan nilai kerugian, sungguh tidak tepat.

Baca Juga :   Menteri BUMN: Komunikasi Publik Jadi Kunci Keberhasilan Program Vaksinasi Covid-19

Menurut Jamin, itu sangat problematis karena faktanya saham-saham investasi tersebut masih dimiliki Jiwasraya walau sedang mengalami penurunan nilai saham (impairment). “Akibatnya, penyitaan, pemblokiran dan kegagalan memverifikasi aset yang dilakukan Kejaksaan Agung memberikan dampak sistemik para investor pasar modal dan konsumen bisnis asuransi,” ujar Jamin.

Sementara itu, mantan Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Halius Hosen menilai tindakan Kejaksaan yang diduga mengkriminalisasi ataupun merampok aset investor adalah tindakan yang sangat tidak dibenarkan dan tidak bisa dibiarkan. Penegakan hukum jangan dipolitisasi dan sewenang-wenang.

“Maka adalah hak dan kewajiban bagi siapapun untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya,” kata Halius.

Sebagai upaya pengawasan, kata Halius, maka perlu adanya eksaminasi apakah penyidikdan penuntut umum dalam kasus ini adalah pihak yang berkompeten dalam melaksanakan tugasnya sesuai aturan serta perundang-undangan.

“Jangan biarkan jika ada ketidakadilan. Jika ada celah penegakan hukum yang tidak berkeadilan atau melanggar UU, maka telah terjadi pembangkangan hukum yang luar biasa dalam penegakan hukum Jiwasraya-Asabri,” ujar Halius.

Baca Juga :   Mandiri Capital Indonesia Membuka Peluang Startup Masuk ke Grup Mandiri, Simak Programnya

Sebagai mantan jaksa, Halius berharap agar Kejaksaan tidak menjadi alat untuk praktik penyalahgunaan wewenang dalam rangka menegakkan hukum. “Jangan ada kolaborasi jahat antara penegak hukum dengan penjahat. Jika dibiarkan maka akan merusak institusi Kejaksaan, sebagai lembaga penegak hukum tertinggi di negeri ini,” kata Halius.

Karena itu, kata Halius, Komjak perlu turun tangan untuk menyelidiki dugaan pembangkangan hukum yang dilakukan Kejagung. Soalnya, Komjak memiliki kewenangan untuk mengawasi tupoksi, kinerja, dan perilaku para jaksa.

“Sebab tudingan kriminalisasi bukan lagi masalahnya tupoksi, profesionalisme dari penegak hukum, tapi juga menyangkut perilaku,” kata Halius.

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics