Pemerintah RI: Kenapa Sih Hanya Sawit yang Diterpa Isu Negatif?

0
352

Di dunia ini tersedia aneka jenis minyak nabati (vegetable oil) untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tetapi dari sekian banyak jenis vegetable oil itu, minyak sawit yang mayoritas diproduksi di Indonesia, acap kali mendapat isu negatif terutama terkait dengan lingkungan. Kenapa yang lain tidak?

Pertanyaan ini mencuat dalam Vegetable Oils Conference (VOC). Acara yang digelar di Nusa Dua, Bali ini bebarengan dengan Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2022. IPOC yang digelar oleh Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) sendiri fokus membahas isu-isu seputar persawitan, termasuk tren permintaan dan penawaran kedepan. Sementara, VOC yang juga didukung oleh Gapki, membahas isu minyak nabati global secara umum, termasuk di dalamnya tentu saja minyak sawit.

Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan meski minyak sawit merupakan salah satu jenis vegetable oil, tetapi citra minyak sawit lebih negatif dibandingkan yang lainnya, seperti rapeseed, minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak zaitun dan sebagainya. Padahal, semua komoditas ini sama-sama menbutuhkan lahan untuk menanamnya.

Baca Juga :   Diselenggarakan di Bali, Ribuan Pebisnis Dunia Hadiri Konferensi Sawit IPOC 2022

“Apa sih salahnya kelapa sawit? Kenapa selalu dianggap perusak hutan? Memang yang lainnya bukan dari hutan lahannya? Mereka juga dari hutan. Bumi ini kan semuanya dulunya dari hutan,” ujar Musdhalifah dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/11).

Menko Perekonomian RI, Airlangga Hartarto dalam sambutannya pada pembukaan IPOC 2022 mengatakan saat ini, Indonesia mampu memproduksi 40% dari total minyak nabati dunia. Berdasarkan hasil penelitian, memproduksi 1 ton kelapa sawit hanya membutuhkan lahan seluas 0,3 hektar. Dengan jumlah produksi yang sama, minyak nabati lain seperti minyak rapeseed membutuhkan lahan seluas 1,3 hektar, minyak bunga matahari dengan luas 1,5 hektar dan minyak kedelai dengan luas 2 hektar.

“Hal ini menjadikan komoditas kelapa sawit lebih unggul dari komoditas pesaing minyak nabati lainnya, yang memiliki produktivitas lebih tinggi, namun lebih sedikit lahan yang digunakan untuk memproduksi kelapa sawit,” kata Airlangga.

Isu negatif terkait kelapa sawit diantaranya dihembuskan pasar Eropa. Isu-isu negatif terkait deforestrasi ini ditengari sebagai bagian dari perang dagang dalam persaingan pasar minyak nabati dunia. Meski demikian, di sisi lain permintaan minyak sawit juga terus meningkat di Uni Eropa.

Baca Juga :   Kurangi Ketergantungan Impor, India Produksi CPO Sendiri

Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia dan Uni Eropa, Andri Hadi yang hadir sebagai salah satu pembicara dalam IPOC 2022 mengatakan nilai ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2020 sebesar US$2,7 miliar, meningkat menjadi US$3,8 miliar pada 2021. Peningkatan tersebut, jelasnya, terjadi karena komoditas minyak sawit ini merupakan kebutuhan yang vital, tidak bisa tidak dipenuhi.

Palm oil ini adalah produk derivatif, bisa untuk kosmetik, sabun, berbagai macam produk, bahkan lebih dari 500 produk itu selalu mengandung palm oil dan produk-produk ini betul-betul dibutuhkan oleh konsumen dan relatif affordable dibandingkan vegetable oil yang lainnya,” ujar Andri.

Andri mengakui adanya kampanye negatif terkait minyak sawit di di Eropa ini. Karena itu, menurutnya berbagai stakeholder perlu duduk bersama. Pemerintah sendiri menurutnya sudah membentuk ASEAN-EU Joint Working Group on The Palm Oil. Dalam kelompok kerja ini, pemerintah Indonesia menyampaikan ke Uni Eropa bahwa diantara vegetable oil lainnya, minyak sawit “most certified”. Karena itu, menurutnya, harus ada pemahaman bersama tentang sustainability. “Mari kita membuat kajian bersama mengenai isu sustainability di kelapa sawit, tetapi bukan hanya di kelapa sawit tetapi juga vegetable oil lainnya,” ujarnya.

Leave a reply

Iconomics