
Inflasi Indonesia Masih Terkendali, Analis Maybank; BI Tak Naikan Suku Bunga Acuan dalam RDG April Ini

Ilustrasi/Galamedia
Bank Indonesia [BI] diperkirakan tak akan menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate dalam Rapat Dewan Gubernur [RDG] April 2024 yang hasilnya diumumkan pada Rabu (24/4), demikian menurut analis Maybank Indonesia.
Analis Bidang Ekonomi, Industri dan Global Markets Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto mengatakan sejauh ini bank sentral Amerika Serikat [AS], Federal Reserve [Fed] juga belum memberikan sinyal yang “clear mengenai kapan mereka menurunkan suku bunga.”
Menurutnya, arah kebijakan suku bunga Fed akan diikuti oleh bank sentral negara lain, termasuk Indonesia.
“Kita lihat untuk hari ini [Rabu, 24 April] kemungkinan Bank Indoesia masih menjaga suku bunga di level 6%,” ujar Myrdal dalam “Tiger Insights” yang ditayangkan melalui Youtube Maybank Sekuritas, Rabu (24/4).
Menurutnya, ada beberapa alasan BI mempertahankan suku bunga acuan BI Rate, alih-alih menaikkannya. Ia mengatakan, saat ini kondisi inflasi di Indonesia masih relatif rendah yaitu berada dalam kisaran target BI di level 2,5% plus minus 1%. Inflasi Maret sebesar 3,04%.
“Kita lihat juga tekanan dari sisi imported inflation yang berasal dari transmisi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap biaya untuk melakukan impor, kalau kita lihat juga tekananya sudah mulai surut. Rupiah saat ini pelan-pelan sudah turun ke level di bawah 16.280an. Kita lihat ada kemungkinan rupiah menuju ke level sekitar 16.100, lalu bertahap ke level 16.000,” ujarnya.
Karena itu, dengan tekanan terhadap rupiah yang makin berkurang, Gunarto mengatakan, tidak ada urgensinya lagi BI menaikkan BI Rate.
Apalagi pemulihan ekonomi Indonesia juga masih berbasis pada aktivitas domestik yang membutuhkan suku bunga yang terjaga bahkan turun.
“Masih butuh biaya atau cost suku bunga yang relatif terjaga atau dengan kecenderungan menurun. Jadi kita harapkan jangan naik dulu, hanya karena nilai tukar rupiahnya mengalami pelemahan, langsung BI merespons dengan menaikkan suku bunga. Kita masih memiliki instrumen yang lain dan juga kita bisa melihat kondisi dari global secara detil lebih lanjut. Kalau terlalu terburu-buru takutnya juga akan memberikan bumerang terhadap kondisi dari ekonomi domesitk secara keseluruhan,” ujarnya.
Rupiah selama beberapa pekan terakhir memang melemah tajam yang disebabkan oleh tingkat inflasi di Amerika Serikat yang masih tinggi, lebih tinggi dari ekspektasi pasar. Kondisi ini menyebabkan pelaku pasar meragukan Fed akan menurunkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat.
Selain karena inflasi yang masih tinggi di AS, dolar AS juga tambah perkasa setelah adanya konflik antara Israel dan Iran.
Leave a reply
