Indikator Politik Indonesia Usulkan Gunakan Sistem Pemilu Campuran Tertutup dan Terbuka

0
268
Reporter: Rommy Yudhistira

Sistem proporsional tertutup dan proporsional terbuka dinilai sama-sama memiliki keunggulan dan kelemahan. Karena itu, dibutuhkan suatu solusi agar dapat menerapkan kelebihan 2 sistem pemilihan umum (pemilu) tersebut.

Berdasarkan itu, kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi, pihaknya mengusulkan agar menggunakan sistem pemilu campuran antara proporsional tertutup dan proporsional terbuka. Campuran proporsional sistem merupakan satu formula dengan memadukan kelebihan proporsional tertutup dan kelebihan proporsional terbuka untuk mengeliminir kekurangan sistem pemilu saat ini.

“Tawaran saya itu mix proporsional sistem, jadi bukan distrik tapi juga bukan murni open list, atau murni close,” kata Burhanudin dalam sebuah diskusi, Kamis (26/1).

Sistem mix proporsional, kata Burhanuddin, juga telah dipakai Jerman dalam sistem pemilu mereka. Di Jerman terdapat kurang lebih sebanyak 299 daerah pemilihan (dapil) dan setiap pemilih diberikan 2 kertas suara yang terdiri atas satu kertas suara untuk memilih partai serta satu kertas suara untuk memilih calon legislatif (caleg).

Dengan demikian, kata Burhanudin, dalam satu negara terdapat 299 dapil dengan 2 kursi yang terdiri atas 1 kursi memperebutkan partai, dan 1 kursi lagi melalui kompetisi bebas antar-caleg.

Baca Juga :   Menkominfo Sebut Pemilu e-Voting Sangat Memungkinkan, Inilah Tantangannya

“Total berarti ada 299 kali 2. Satu buat para kader partai, mereka bisa masuk melalui jalur partai, tetapi untuk kedaulatan pemilih mereka tetap diberikan peluang untuk memilih caleg. Berarti tidak murni distrik juga di situ. Dalam kasus di Jerman itu sukses, mengurangi jumlah partai, dan mengurangi politik uang secara masif,” ujar Burhanuddin.

Di sisi lain, kata Burhanudin, tingkat kedekatan partai dengan para pemilih mengalami penurunan sebesar kurang lebih 20%, setelah sistem proporsional tertutup tidak digunakan lagi atau setelah 3 kali melewati masa pemilu pada 2009, 2014, dan 2019. Alasan terjadinya hal itu karena sistem proporsional tertutup yang berkompetisi secara elektoral adalah partai, karena para pemilih mencoblos partai.

Sementara itu, ujar Burhanuddin, dalam sistem proporsional terbuka, yang terlibat dalam kompetisi elektoral tidak hanya partai semata, tetapi juga para caleg yang ikut bertarung untuk memperebutkan kursi di tiap-tiap dapil. Hal tersebut dinilai menjadi persoalan, mengapa para pemilih pada akhirnya tidak lagi memiliki kedekatan dengan partai, namun lebih ke arah individu.

Baca Juga :   Anggota Komisi X: Pemerintah Perlu Tegaskan Batas Usia Masuk SD Harus 7 Tahun

“Akhirnya orang tidak bicara tentang platform partai. Diferensiasi individual itulah yang menentukan proses kemenangan, dan itu yang kemudian menyebabkan orang semakin jauh terhadap partai. Karena proporsional tertutup juga bukan tanpa kelemahan. Ada kelemahannya juga proporsional tertutup yaitu kedaulatan pemilih terhadap caleg yang berkurang,” tutur Burhanudin.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics