
Pengamat Nilai Jokowi Tidak Tegas Menolak Rencana Amandemen UUD

Ilustrasi wacana amandemen UUD 1945/Kumparan
Pengamat politik Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menilai kedudukan Presiden Joko Widodo soal amandemen UUD 1945 antara setuju dan tidak. Pasalnya, Jokowi dinilai satu sisi menolak amandemen tapi di sisi lain menyerahkan hal tersebut sebagai kewenangan MPR.
“Dalam pertemuan dengan pimpinan MPR, nada yang sama juga diungkapkan oleh presiden. Dalam pertemuan itu presiden menekankan bahwa perlu menjaring secara luas pendapat masyarakat. Pun dalam pidato 17 Agustus lalu, presiden bahkan mengapresiasi keinginan MPR untuk mengkaji lahirnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN),” kata Ray saat dihubungi, Selasa (7/9).
Berangkat dari hal tersebut, kata Ray, penolakan Jokowi itu tidak bisa dianggap sebagai argumen yang substantif dan prinsipil. Seharusnya alasan presiden untuk menolak amandemen lebih bersifat teknis bukan substantif dan prinsipil.
“Presiden takut ditafsirkan bahwa seolah amandemen itu demi kepentingan dirinya sendiri. Dengan begitu, apakah artinya jika asumsi seperti ini tidak muncul di tengah masyarakat maka amandemen dapat dilakukan? Ini yang tidak jelas,” ujar Ray.
Menurut Ray, dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, sikap Jokowi dapat berubah seketika, dari yang sebelumnya tidak setuju, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi setuju. Semisal dalam kasus revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Awalnya Jokowi menolak, belakangan Jokowi pun setuju untuk revisi UU KPK.
Bahkan, kata Ray, dalam pembahasan revisi UU KPK Jokowi terlibat penuh. Bahkan bukan hanya satu atau dua pasal, banyak pasal yang diubah dan ditambahkan dalam revisi itu.
“Jadi, dalam beberapa kasus ucapan presiden saat ini tidak menggambarkan sikap beliau setelahnya. Bisa berubah seiring dengan situasi yang berkembang. Belum lagi soal rencana revisi UU ITE yang sampai sekarang sudah tidak terdengar kelanjutannya,” katanya.
Leave a reply
