
YLKI Ingatkan Pemerintah untuk Antisipasi Kenaikan Berbagai Komoditas

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi/Media Indonesia
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mewanti-wanti pemerintah untuk mengantisipasi terganggunya impor gandum akibat perang Rusia dan Ukraina. Apalagi Ukraina disebut sebagai pengekspor gandum terbesar untuk Indonesia dengan nilai 1,6 juta ton per tahun.
“Karena ini sedang kondisi perang, tentu akan terjadi gangguan distribusi, supply chain, dan juga mungkin mereka tidak akan mengekspor karena untuk kebutuhan dalam negeri dan seterusnya. Sehingga ini harus diantisipasi,” kata Ketua YLKI Tulus Abadi dalam sebuah diskusi virtual, Selasa (1/3).
Tulus mengatakan, masyarakat Indonesia mengkonsumsi sejumlah produk yang berbahan baku gandum seperti mi instan, roti, dan lain sebagainya. Untuk memenuhi produk itu, Indonesia membutuhkan 8,6 juta ton gandum setiap tahun.
“Ini Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) juga bisa mengantisipasi adanya perang Rusia-Ukraina, ini kalau kita makan mi instan, atau mi ayam, ini sebentar lagi akan naik harganya. Karena kita kepada Ukraina kita sangat bergantung impor gandum,” ujar Tulus.
Soal gejolak kenaikan harga seperti minyak goreng, kedelai, dan daging sapi, kata Tulus, jika ditinjau dari sumber permasalahan, sebenarnya Indonesia merupakan eksportir crude palm oil (CPO). Sedangkan, di sektor daging sapi dan kedelai Indonesia sebagai pihak importir.
Atas dasar itu, kata Tulus, Indonesia berada di posisi yang sulit lantaran berperan sebagai importir. Hal serupa juga terjadi dalam komoditas minyak mentah untuk bahan bakar minyak (BBM) dan gas LPG yang diperkirakan akan mengalami kenaikan imbas dari kondisi global saat ini.
“Kedelai ini masih impor, 90% kedelai kita itu impor. Jadi setiap tahun kita memerlukan 3,6 juta ton kedelai. Sementara produk lokal kedelai kita itu hanya 522 ribu ton. Jadi sangat kecil, sangat jauh untuk memenuhi kebutuhan kita,” ujar Tulus lagi.
Untuk daging sapi, kata Tulus, saat ini Australia sedang membatasi ekspor sapi bakalan atau sapi yang diekspor dalam bentuk utuh. Padahal, sebelumnya pemerintah Australia sudah mengingatkan Indonesia produksi sapi akan menurun lantaran adanya faktor iklim cuaca buruk.
“Sekali lagi kita masih bergantung daging sapi atau sapi bakalan dari Australia. Australia hanya mengekspor pada saat ini hanya 40% dari biasanya. Akhirnya terjadi gejolak, terjadi kenaikan harga, karena dagingnya menjadi terbatas, pasokannya berkurang secara signifikan,” tutur Tulus.
Leave a reply
