Beban Utang Menggunung, Garuda Indonesia Terancam Crash

1
510

Erick mengatakan masalah terbesar di Garuda Indonesia adalah berkaitan dengan lessor atau penyewa pesawat. Ada 36 perusahaan lessor atau peneyewa pesawat yang bekerja sama dengan Garuda Indonesia. Diantara lessor itu, di masa lalu ada yang sudah terbukti bekerja sama dalam kasus yang sudah dibuktikan koruptif. “Itu pasti kita akan standstill bahkan negosiasi keras,” ujarnya.

Namun, ada juga lessor yang tidak terlibat kasus korupsi. Tetapi, menurut Erick biaya penyewaannya mahal sesuai dengan kondisi saat ini. “Itu yang juga kita harus negosiasi ulang,” ujarnya.

Masalah lain dari Garuda Indonesia, ungkap Erick, adalah terkait model bisnis yang tidak fokus melayani rute domestik, tetapi juga rute internasional. Padahal, menurut Erick, sebagai negara kepulauan pasar terbesar justru di dalam negeri. Menurutnya, maskapai dari negara lain melakukan ekspansi internasional karena kebetulan negara asalnya hanya satu pulau atau hanya satu titik saja. “Kita enggak perlu, dengan kekuatan domestik, kita bermain dengan market yang sama dengan mereka,” ujarnya.

Baca Juga :   WIKA Merugi karena Kereta Cepat, Puncaknya di 2023 Akibat Beban Bunga Tinggi

Berdasarkan informasi di situs perusahaan, Garuda Indonesia melayani penerbangan ke-17 kota di dunia yaitu Melbourne, Perth, Sydney, Beijing, Guangzhou, Hong Kong, Osaka, Seoul, Shanghai, Tokyo (Narita), Tokyo (Haneda), Amsterdam, Jeddah, Medinah, Bangkok, Kuala Lumpur, dan Singapura. Sementara untuk rute domestik, Garuda Indonesia terbang ke 51 kota. Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2020, pendapatan dari rute domestik sebesar US$2,98 miliar. Sementara, rute internasional memberikan kontribusi sebesar US$559,01 juta.

Garuda Indonesia, menurut Erick juga menjadi korban dari kebijakan open sky dari pemerintah, dimana maskapai penerbangan asing bisa membuka rute penerbangan di sejumlah bandar udara (bandara) di Indonesia. Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, menurut Erick menjadi momentum untuk merevisi kebijakan open sky itu. Maskapai penerbangan asing bakal hanya diizinkan untuk mendarat di bandara tertentu saja. Penerbangan selanjutnya bisa dilayani oleh maskapai domestik termasuk Garuda Indonesia. “Kita sudah banyak bicara dengan Menteri Perhubungan dan beliau mendukung, bagaiamana nanti airport-airport di Indonesia sendiri memang tidak semua jadi open sky,” ujar Erick.

Halaman Berikutnya
1 2 3 4 5

1 comment

Leave a reply

Iconomics