
Bursa Kripto Sudah Diluncurkan, Beban Biaya Bertambah, Aspakrindo: Tindak Tegas Exchanger Ilegal

Ilustrasi aset kripto
Bursa kripto yang resmi diluncurkan pada akhir Juli lalu dipastikan menambah beban biaya transaksi kripto di Indonesia. Agar industri ini tetap kompetitif, pelaku usaha meminta agar pemerintah meninjau kembali besaran tarif pajak transaksi kripto yang sudah mulai diterapkan pada 1 Mei 2022. Tak hanya itu, exchanger kripto ilegal – yang tidak menjadi anggota bursa dan terdaftar di Bappebti – juga mestinya ditindak tegas.
Robby Bun, Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) mengatakan pedang fisik aset kripto dan Self Regulatory Organization (SRO) yaitu bursa, kliring dan lembaga penyimpanan aset (depository) atau kustodian, telah menyepakati biaya transaksi sebesar 2 bps atau 0,02% bila nanti pedagang fisik aset kripto sudah resmi menjadi anggota bursa dan terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Babppebti).
Biaya 0,02% itu dibebankan kepada investor/trader,baik pada saat melakukan pembelian aset kripto maupun pada saat melakukan penjualan aset kripto. Biaya 0,02% itu merupakan fee untuk SRO.
Dengan demikian, biaya transaksi kripto akan bertambah. Selain pajak PPh dan PPN, juga ada biaya transaksi untuk fee kepada pedagang fisik aset kripto atau exchanger yang besarannya bervariasi.
Sebagai kilas bilaik, PPN dikenakan untuk transaksi pembelian aset kripto dengan ketentuan tarif sebesar 1% dari tarif PPN atau sebesar 0,11% dari nilai transaksi aset kripto bila transaksi tersebut dilakukan melalui pedagang fisik aset kripto atau exchanger terdaftar di Bappebti dan menjadi anggota bursa.
Sebaliknya, tarif PPN dikenakan lebih besar yaitu 2% dari tarif PPN atau 0,22% dari nilai transaksi aset kripto bila transaksi pembelian aset kripto dilakukan bukan melalui pedagang fisik aset kripto yang tidak terdaftar di Bappebti dan menjadi anggota bursa.
Sementara PPh dikenakan untuk penghasilan yang diperoleh dari hasil penjualan aset kripto. Sama seperti PPN, ketentuan tarif PPh juga ada dua yaitu sebesar 0,1% dan 0,2% dari dari nilai transaksi aset kripto.
Tarif PPh 0,1% dikenakan untuk transaksi penjualan yang dilakukan pada pedagang fisik aset kripto terdaftar di Bappebti dan menjadi anggota bursa.
Sedangkan tarif PPh 0,2% dikenakan untuk transaksi yang dilakukan pada pedagang fisik aset kripto yang tidak terdaftar di Bappebti dan menjadi anggota bursa.
Dengan bertambahnya biaya, setelah adanya biaya untuk fee SRO, Robby berharap agar pemerintah meninjau kembali besaran tarif pajak baik PPN maupun PPh, serta melakukan penindakan tegas terhadap pedagang aset kripto yang ia sebut pedagang ilegal.
Istilah ilegal di sini merujuk pada pedagang fisik aset kripto yang tidak terdaftar di Bappebti. Memang saat ini belum satu pun pedagang aset kripto yang berstatus resmi terdaftar di Bappebti karena sedang melakukan proses administrasi untuk menjadi anggota Bursa. Tetapi saat ini ada 27 calon pedagang fisik aset kripto yang sedang dalam proses pendaftaran itu dan selama ini tunduk pada regulasi yang dibuat Bappbeti. Di luar yang 27 itulah yang disebut Robby sebagai pedagang ilegal. Ia mengungkapkan beberapa contohnya, yaitu: Binance, Coinbase, Bitfinex, KuCoin, Gate.io. Platform dari perusahaan-perusahaan ini masih bebas beraktivitas di Indonesia, bahkan mendapatkan akses dari perbankan.
Robby – yang juga merupakan Chief Operating Officer (COO) Reku – mengakui secara regulasi memang pembayaran pajak untuk perusahaan-perusahaan tidak terdaftar ini lebih tinggi.
Tetapi “Hari ini kita mau lihat, dari pajaknya sendiri sudah ada berapa besar hasil dari pungutan terhadap pedagang ilegal. Enggak ada. Sedangkan pedagang ilegal, tanpa harus mengikuti peraturan dan lain-lain bergerak bebas, bank-bank juga masih membukakan akses untuk pedagang ilegal ini,” ujarnya kepada Theiconomics.com beberapa waktu lalu.
Menurut Robby penerapan pajak ditambah lagi nanti ada tambahan transaksi untuk fee kepada SRO dikhawtirkan akan membuat transaksi kripto di Indonesia tidak menarik. Transaksi kripto di Indonesia – setelah mencapai puncaknya pada tahun 2021 – terus mengalami penurunan. Selain memang karena pasar yang bearish, penurunan nilai transaksi ini, disinyalir juga karena dampak pajak kripto.
Robby mengungkapkan tahun 2021, nilai transaksi kripto di Indonesia mencapai sekitar Rp800 triliun. Tahun 2022 turun menjadi sekitar Rp300 triliun.
“Di 2023 Rp100 triliun pun belum nyampe,” ujarnya.
Ia khawatir biaya transaksi untuk SRO sebesar 0,02% per transaksi semakin membuat industri kripto di Indonesia tidak menarik.
“Dengan biaya sekarang ini saja, capital outflow itu besar-besaran keluar,” ujarnya.
Menurut Robby, investor/trader kripto Indonesia lebih nyaman bertransaksi di luar negeri, ketimbang pada platform milik pedagang yang terdaftar di Indonesia. Menurutnya, jumlah investor/trader kripto asal Indonesia yang bertransaksi di plaform global mencapai sekitar 4,6 juta investor/trader.
Mirisnya, nilai transaksi yang dilakukan investor/trader asal Indonesia ini di platform global rata-rata mencapai Rp750an juta. Sementara rata-rata nilai transaksi yang dilakukan oleh investor/trader di dalam negeri hanya Rp17an juta per investor/trader.
Perbedaan nilai transaksi di dalam negeri dan luar negeri oleh investor asal Indonesia yang “jomplang” ini menurut Robby terjadi karena biaya transaksi yang tinggi di Indonesia.
“Biaya kita besar, pedagang ilegal masih bebas. Tax masih tinggi. Bagaimana cara agar inflow itu bisa terjadi lagi? Mesti ada penyesuain kembali terhadap pajak, dan penindakan terhadap pedagang ilegal,” ujarnya.
1 comment
Leave a reply

[…] Robby Bun, Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) mengatakan transaksi kripto di Indonesia […]