
Jadi Sorotan, Begini Buruknya Kondisi Keuangan Asabri

Direktur Utama Asabri, Sonny WIdjaja (The Inconomics)
PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau PT Asabri (Persero) menjadi salah satu perusahaan asuransi yang menjadi sorotan saat ini, selain PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Mengapa demikian?
Direktur Utama Asabri, Sonny WIdjaja, di hadapan Komisi VI DPR RI, Rabu (19/2) memaparkan kondisi keuangan perusahaan yang tidak pernah sehat.
Sonny mengungkapkan perusahaan yang berdiri tahun 1971 ini tidak pernah mengalami pertumbuhan premi. Akibatnya, perusahaan pun menderita negative underwriting sejak tahun 1976. Negative underwriting terjadi karena penerimaan premi yang lebih kecil dibandingkan beban klaim dan beban liabilitas manfaat polis masa depan (LMPMD).
Tahun 1976, rugi underwriting yang diderita Asabri mencapai 0,2 miliar. “Dari awal sudah mengalami underwriting negatif,” ujar Sonny.
Dalam 10 tahun terakhir, rugi underwriting terus meningkat dari Rp 312 miliar pada 2010 menjadi Rp 1,23 triliun pada 2019. Data 2019 ini belum diaudit.
Meski demikian, di tengah kondisi itu, Asabri sebenarnya tetap mencetakan laba. Laba setelah pajak tahun 1976, misalnya sebesar 0,2 miliar. Kemudian tahun 2010 sebesar Rp 247 miliar dan 2018 sebesar Rp 852 miliar. Tetapi, tahun 2019 Asabri menderita kerugian sebesar Rp 6,21 triliun.
Mengapa bisa rugi?
Akibat negative underwriting yang terus diderita perusahaan, sejak 2010, Asabri menerapkan strategi investasi agresif. Hal ini bisa dilihat dari komposisi portofolio investasi perusahaan.
Untuk Tunjangan Hari Tua (THT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm), Asabri mengalokasikan 14,56% pada saham. Mayoritas saham yang dipilih adalah saham emiten non BUMN yaitu mencapai 12,02%. Sedangkan saham BUMN dan anak BUMN masing-masing sebesar 2,11% dan 0,43%.
Sedangakn untuk portofolio investasi Akumulasi Iuran Pensiun (AIP), alokasi untuk saham sebesar 14,54%. Rinciannya, saham BUMN 7,79%; saham anak BUMN sebesar 2,19% dan saham non BUMN sebesar 4,55%.
Selain saham, Asabri juga menenempatkan investasi pada reksa dana yang cukup besar. Untuk THT, JKK dan JKm, komposisinya mencapai 46,03%. Rinciannya, reksa dana SBN sebesar 9,67% dan reksa dana non SBN sebesar 36,35%. Sedangkan untuk dana AIP, yang diinvestasikan pada reksa dana sebesar 24%.
Sonny mengatakan komposi investasi pada saham ini sebenarnya masih sesuai dengan ketentuan. Karena menurut dia, batasan maksimal komposisi investasi pada saham untuk perusahaan asuransi sebesar 40%. Sedangkan untuk reksa dana maksimal 50%.
Namun, menurutnya kondisi pasar modal yang tidak kondusif menyebabkan terjadinya penurunan nilai saham dan juga reksa dana yang dibeli Asabri. Penurunan nilai saham ini menyebabkan aset Asabri pun tergerus.
Tahun 2018 lalu, toal nilai aset JHT, JKK dan JKm sebesar Rp 19,4 triliun. Tahun 2019 lalu, turun tajam menjadi Rp 10,6 triliun. Sedangkan total aset Akumulasi Iuran Pensiun (AIP) pada tahun 2018 sebesar Rp 26,8 triliun dan tahun 2019 turun menjadi Rp 18,9 triliun.
Aset yang tergerus ini menyebabkan Risk Based Capital (RBC )Asabri dan juga equitas-nya negatif.
“Asabri pada 2019 dipastikan mengalami RBC negatif sebesar 571,17% dan masih akan mengalami RBC negatif pada tahun 2020,”ujar Sonny.
RBC negatif terjadi karena liabilitas lebih besar dari pada aset. Akumulasi cadangan liabilitas manfaat polis masa depan (LMPMD) terus meningkat setiap tahun sementara nilai aset turun drastis karena nilai investasi saham Asbrai yang dihitung mark to market mengalami penurunan drastis.
Sonny mengatakan untuk mencapai RBC 100% diperlukan peningkatan aset sebesar Rp 7.05 triliun. Sedangkan untuk mencapai RBC 120% diperlukan peningkatan aset Rp 7,26 triliun.
Equitas perusahaan juga menjadi negatif karena unrealized loss yagng terlalu tinggi dan liabilitas atau kewajiban perusahaan yang lebih tinggi dari aet.

Direktur Utama Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko dan Direktur Utama Asabri, Sonny WIdjaja (The Iconomics)
Menyadari strategi inevestasi agresif membuat perusahaan buntung, Sonny mengatakan, Asabri pun mengubah strategi investasi menajdi lebih konservatif. “Kami melakukan pemetaan terhadap aset-aset investasi yang tidak produktif dan mengubah strategi investasi dari agresif ke konservatif,” ujarnya.
Upaya lain, Asabri juga meminta pertanggungjawaban dua orang yang kini juga menjadi tersangka dalam kasus hukum PT Asuransi Jiwasraya.
“Kamai sudah meminta pertanggungjawaban saudara HH [Heru Hidayat] dan BTj [Benny Tjokro] dalam rangka pemulihan terhadap penurunan aset investasi,” ujarnya.
Sonny mengatakan total nilai investasi pada perusahaan milik Heru Hidayat dan Benny Tjokro sebesar Rp 11,4 triliun. Masing-masing Heru Hidayat sebesar Rp 5,8 triliun dan Benny Tjokro sebesar Rp 5,6 triliun.
“Kami memberdayakan kepolisian untuk bisa menagih karena tidak punya kewenangan untuk menarik asetnya,” ujarnya.
Leave a reply
