Lima Hal yang Jadi Pertimbangan Pemerintah Sebelum Putuskan Tarif Cukai Rokok 2021

0
943

Pemerintah tak mau terburu-buru membuat kebijakan terkait tarif cukai hasil tembakau untuk tahun 2021. Setidaknya ada lima aspek yang dipertimbangkan pemerintah dalam membuat kebijakan cukai rokok ini.

“Kita masih akan terus melakukan formulasi ini dan nanti kami akan sampaikan pada saat pengumuman kalau memang sudah difinalkan keseluruhan aspek yang kita lihat terutama dalam situasi di mana kita sedang menghadapi Covid,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers, Senin (23/11).

Sri Mulyani menyebutkan lima aspek yang dipertimbangkan pemerintah dalam menetapkan kebijakan terkait cukai rokok. Pertama, mengurangi prevalensi perokok terutama pada anak-anak dan perempuan. Kedua, melindungi dan mendukung petani tembakau.

Ketiga, mendukung dari sisi para pekerja pabrik rokok terutama yang masih menggunakan tangan atau Sigaret Kretek Tangan (SKT). Keempat, menekan bertambahnya atau beredarnya rokok ilegal. Kelima, dari sisi penerimaan negara.

Tahun 2020 ini pemerintah menargetkan pendapatan dari cukai hasil tembakau mencapai Rp164,94 triliun. Hingga akhir Oktober 2020 lalu, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau mencapai Rp130,53 triliun, naik 11,72% YoY.

Baca Juga :   Seperti Batubara, Emiten Rokok Masih Cukup Menarik di Tengah Tren Pembatasan dari Pemerintah

Tahun 2021, pemerintah menargetkan penerimaan cukai hasil tembakau mencapai Rp172,75 triliun, atau naik 4,71% dibanding Rp164,9 triliun pada 2020 ini.

Kenaikan target penerimaan cukai rokok pada APBN 2021 ini menimbulkan spekulasi terjadi kenaikan tarif cukai hasil tembakau. Kalangan pekerja dan industri rokok menentang rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau tersebut.

Beberapa waktu lalu, buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mendesak agar cukai hasil tembakau tidak dinaikkan.

Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto mengatakan kenaikan cukai tahun 2020 yang mencekik ditambah dengan mewabahnya pandemi Covid-19, telah membuat kondisi industri hasil tembakau (IHT) semakin tertekan dan tidak menentu.

“Imbasnya adalah pada pekerja, anggota kami yang terlibat dalam sektor industri ini,” kata Sudarto dalam siaran pers tertulis.

Hal senada juga pernah disampaikan oleh Presiden Direktur Sampoerna, Mindaugas Trumpaitis. Menurutnya, perlu ada proteksi terhadap sektor-sektor yang menyerap banyak tenga kerja, seperti Sigaret Kretek Tangan (SKT). Sebagai perbandingan, Mindaugas mengatakan untuk memproduksi satu miliar batang rokok SKT dibutuhkan sekitar 2.700 karyawan karena dilinting satu per satu. Namun, untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) untuk jumlah rokok yang sama hanya dibutuhkan 21 orang karyawan.

Baca Juga :   Kecenderungan Permintaan Pita Cukai Rokok Naik

“Kunci utama untuk melindungi segmen SKT yang padat karya adalah dengan membuat kebijakan cukai yang mendukung daya saingnya dibandingkan rokok mesin, baik SKM maupun SPM, yang jauh lebih sedikit menyerap tenaga kerja. Untuk itu, kami berharap ada keberpihakan bagi segmen SKT dengan tidak menaikkan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) untuk 2021. Ini menjadi teramat penting selama berlangsungnya krisis ekonomi yang melanda Indonesia akibat pandemi Covid-19. Selain sebagai segmen padat karya, keberadaan pabrik SKT juga memiliki multiplier effect yang signifikan di bidang sosial dan ekonomi di wilayah lokasi pabrik,” kata Mindaugas.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics