Ekonom Bank Mandiri Beberkan Arah Suku Bunga Acuan Kedepan

0
161

Arah suku bunga acuan Bank Indonesia kedepan masih tergantung pada arah kebijakan bank sentral Amerika Serikat. Federal Reserve (Fed) diharapkan bisa memberikan kepastian pasca tingkat suku bunga acuannya mencapai puncak yang diperkirakan terjadi pada September mendatang.

Pada akhir Juli lalu, The Fed menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%-5,5%. Dengan demikian, tingkat suku bunga acuan di Amerika Serikat ini semakin mendekati tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia yang kini berada di level 5,75%.

The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya hingga mencapai level 5,75% pada September nanti.

“Pertanyananya, apakah mereka benar-benar sudah akan stay peak benchmark-nya di 5,75% atau akan merevisi lagi? Tentu saja, menurut kami itu adalah risiko paling besar saat ini kalau kita lihat dari berbagai asumsi yang kita selalu sampaikan di sepanjang tahun ini,” ujar Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro dalam acara Bank Mandiri Economic Outloook Kuartal III 2023 di Jakarta, Selasa (22/8).

Sebagaimana diketahui pada semester pertama lalu, The Fed merevisi target kenaikan suku bunga acuannya dari 5,25% menjadi 5,75%.

Andry mengatakan tingkat inflasi dan penganggguran di Amerika Serikat tentu saja mempengaruhi arah tingkat suku bunga acuan kedepan.

“Kalau kita lihat sampai dengan sejauh ini rata-rata memang masih inline memperkirkan benchmark rate-nya itu akan peaking di 2023 ini terutama di second half dan kemudian akan melandai di tahun 2024,” ujar Andry.

“Kalau memang arahnya kedepan akan melandai, tentu saja cost of borrowing akan relatif menurun kedepannya,” tambahnya.

Baca Juga :   Belanja Masyarakat Relatif Stabil, Bank Mandiri Proyeksikan Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,06% Sepanjang 2024

Namun, apabila The Fed pada September nanti kembali merevisi target kenaikan suku bunga acuannya, maka, kata Andry “ini tentu saja merupakan risiko yang cukup besar.”

“Walaupun sampai sejauh ini belum ada yang memproyeksikan seperti itu. Belum banyak. Tetapi kalau misalnya dari 5,75% dinaikkan lagi, sebesar 50 basis ke 6,25%, tentu saja ini akan mengubah banyak proyeksi terutama nilai tukar, kemudian arah dari benchmark rate-nya sendiri. Jadi, kalau seperti itu tentu saja ada tendesi untuk menyamakan rate-nya. Bisa saja BI Rate-nya kemudian disesuaikan kembali,” ujar Andry.

Tingkat inflasi di Amerika Serika saat ini memang cenderung menurun di kisaran 3,18%. Namun, sejauh ini tren penurunan tersebut belum cukup bagi The Fed untuk menyatakan secara tegas untuk tidak menaikkan suku bunga acuan lagi. “Ini masih belum. Kita menunggu kata-kata itu dari The Fed Chair,” ujar Andry.

“The Fed ini memang perlu diyakinkan bahwa angka inflasi di Amerika Serikat itu persisten untuk turun terus. Kalau itu belum terjadi memang masih ada pressure untuk menaikkan suku bunga acuannya,” tambah Andry.

Menurut Andry mayoritas pelaku pasar saat ini memang memiliki ekspektasi suku bung acuan The Fed bertahan di level 5,5% hingga Maret 2024. Kalau pun masih naik, kenaikannya hanya sampai 5,75%. Selanjutnya pada Federal Open Market Committee (FOMC) Mei 2024 akan mulai turun.

“Kita lihat masih kecil perkembangan atau probabilitas ke arah 6%. Kalau kita lihat di closing-nya di tahun 2024 market itu ekspektasinya sampai sekarang yaitu di 4,5%,” ujar Andry.

Baca Juga :   Setalah 18 Bulan Dipertahankan, BI Akhirnya Menaikkan Suku Bunga Acuan Sebesar 25 Basis Poin

The Fed sendiri, tambah dia, memang memiliki target kenaikan hingga 5,75%. Kemudian pada tahun 2024 turun ke level 4,75% dan tahun 2025 ke level 3,5%. Bila skenario ini yang benar-benar terjadi, maka akan menarik aliran modal ke pasar keuangan negara berkembang (emerging market).

“Walaupun mungkin baru diturunkan di pertengahan tahun 2024, tetapi sinyal itu akan mengerek confidence level dari investor untuk masuk ke emerging market,”ujarnya.

Bila suku bunga acuan The Fed akan naik hingga level 5,75% pada September nanti, maka akan sama dengan BI 7-Day Reverse Repo Rate – suku bunga acuan Bank Indonesia. Namun, Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengatakan kondisi tersebut tidak serta merta akan membuat dana asing keluar dari pasar obligasi Indonesia.

Menurut Handy perbedaan imbal hasil (yield) obligasi bukan faktor utama yang menjadi pertimbangan investor. “Kalau kita bicara yield diferensial itu faktor kedua, yang paling signifikan itu sebenarnya ekspektasi currency risk,” ujar Handy.

Handy mencontohkan pada Juni dan Juli lalu, spread yield obligasi 10 tahun pemerintah Indonesia dengan Amerika Seriakt hanya 220-240 basis poin. “Tetapi faktanya asingnya masih masuk,” ujarnya.

Selain faktor nilai tukar mata uang, Handy mengatakan fundamental ekonomi Indonesia juga makin tangguh atau resilien sehingga menarik investor untuk tetap masuk.

“Fundamental ekonomi kita sekarang jauh lebih resilien dibandingkan dengan periode sebelum Covid,” ujarnya.

Terkait spread suku bunga acuan, Handy mengatakan saat ini suku bunga acuan bank sentral sejumlah negara bahkan sudah ada yang lebih rendah dari Fed Fund Rate. Thailand misalnya, bank sentral rate-nya di level 5,25%, Malaysia 3% dan China 3,45%.

Baca Juga :   Demi KEJAR OJK, Bank Mandiri Gelorakan Semangat Menabung ke 15.000 Pelajar se-Indonesia

Menurut dia, bagi Indonesia kuncinya adalah menjaga level Current Account Balance tetap rendah. Demikian juga inflasi harus tetap rendah.

Neraca perdagangan Indonesia, meskipun terus turun, masih mencatat surplus. Selama tujuh bulan pertama pada tahun 2023, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar US$21,2 miliar, menurun dibandingkan surplus pada periode yang sama tahun lalu sebesar USD29,1 miliar. Faktor penentunya ada pada perkembangan harga komoditas terutama Batubara dan CPO (Sawit) yang masih jauh di atas periode pre-pandemi. Dengan kinerja neraca perdagangan tersebut, Bank Mandiri meperkirakan Neraca Transaksi Berjalan (NTB) atau Current Account Balance Indonesia akan kembali mencatat defisit 0,65% dari PDB tahun 2023.

Tingkat inflasi juga semakin terkendali meskipun tantangan el nino dapat meningkatkan potensi gangguan supply pangan. Hingga bulan Juli, inflasi tercatat sebesar 3,08% yoy dan telah kembali dalam target Bank Indonesia di kisaran 2% – 4%. Bank Mandiri memperkirakan tingkat inflasi Indonesia dapat berada pada retang 3%-3,2% di akhir tahun 2023 (lebih baik dibandingkan proyeksi awal kami di 3,6%) dengan strategi pengelolaan pasokan pangan yang baik.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics