
Perludem: Konstitusi Tidak Bisa Diubah Hanya untuk Memperpanjang Masa Jabatan Presiden

Tangkapan layar, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati/Iconomics
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai konstitusi tidak bisa diubah hanya untuk memuaskan keinginan kelompok tertentu. Apalagi hanya untuk bertujuan memperpanjang masa jabatan presiden dan penundaan pemilihan umum (pemilu).
Bahkan jika perubahan tersebut, kata Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, melalui amandemen UUD 1945. Berdasarkan catatan The International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), secara gamblang mengungkapkan terdapat beberapa konstitusi yang melarang amandemen dilakukan dalam keadaan darurat.
Menurut Khoirunnisa, perubahan konstitusi yang diputuskan secara tergesa-gesa dinilai akan membahayakan dan mengabaikan kepentingan jangka panjang serta berdampak negatif bagi demokrasi. Ada kekhawatiran ketika diubah dalam masa pandemi, itu dilakukan tidak secara adil memproses amandemen tersebut.
“Dari sisi proses tahapannya, juga tahapan perubahannya dikhawatirkan ada penyalahgunaan kekuasaan di situ,” kata Ninis panggilan akrab Khoirunnisa dalam sebuah diskusi virtual, Senin (7/3).
Ninis mengatakan, masyarakat memiliki kekurangan untuk memantau secara menyeluruh proses perubahan aturan yang dilakukan DPR dan pemerintah. Setidaknya itu tercermin dari pembahasan Undang Undang (UU) Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi, UU Minerba, yang menimbulkan polemik karena minimnya partisipasi publik dalam proses pembahasannya.
“Ketika UUD atau konstitusi ini diubah dalam keadaan darurat, keadaan pandemi katakanlah dikhawatirkan bisa membuka cara untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada, yang justru dikhawatirkan ada potensi kesewenang-wenangan,” ujar Ninis.
Terkait isu perpanjangan masa jabatan presiden, kata Ninis, pembatasan masa jabatan kepala negara merupakan salah satu bentuk dari semangat reformasi dan menjadi refleksi perjalanan politik di Indonesia. Dan itu juga ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam setiap putusan soal desain pemilu memastikan desain sistem pemilu harus diperkuat sistem presidensial yang disepakati dalam konstitusi.
Dalam sistem presidensial, kata Ninis, terdapat kepastian mengenai masa jabatan yang sudah dibatasi. Jika tidak dibatasi, dikhawatirkan akan terjadi tindakan kesewenang-wenangan dalam kekuasaan seperti yang pernah terjadi pada masa kekuasaan Orde Baru.
“Dengan adanya pembatasan masa jabatan dan periodisasi yang diatur, itu sebetulnya kita bisa memberikan mekanisme kepada masyarakat untuk memberikan reward dan punishment. Kalau kita suka ya kita pilih lagi sebagai reward-nya. Kalau tidak, ya tidak dipilih kembali,” kata Ninis.
Berdasarkan hasil survey, kata Ninis, hal tersebut dapat menjadi rujukan untuk mengetahui keinginan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
“Dari beberapa survei pun juga sebenarnya menunjukan bahwa masyarakat ingin tetap pemilu itu 2024 dan juga masyarakat juga mayoritas menginginkan tidak ada perpanjangan masa jabatan,” katanya.
Leave a reply
