
Simak Analisis IPR soal Kemungkinan 4 Koalisi untuk Pilpres 2024, Apa Saja?

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin/Istimewa
Indonesia Political Review (IPR) menilai konstruksi peta politik yang terjadi saat ini masih dinamis. Juga akan terus berkembang khususnya mendekati masa pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada 19 Oktober hingga 25 November 2023 nanti.
Jika dilihat dari postur peta koalisi yang terjadi saat ini, kata Direktur Eksekutif IPR Ujang Komarudin, terdapat 4 kekuatan koalisi partai politik yang mungkin terbentuk. Meski demikian, 4 koalisi itu bisa saja tidak terjadi karena kondisi politik dapat bergerak secara dinamis.
Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, kata Ujang, akan mengusung capres dan cawapres berdasarkan sosok yang akan didukung Presiden Joko Widodo. Tanda-tanda itu tampak saat pembentukan KIB yang terlebih dahulu meminta restu Jokowi.
“Ini koalisi awal yang terbentuk sejak lama dan koalisi itu terbentuk atas seizin Jokowi atau izin presiden. Artinya, saya melihatnya arah capres dan cawapresnya nanti ditentukan Jokowi,” kata Ujang saat dihubungi The Iconomics, Senin (20/2).
Selanjutnya, kata Ujang, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri atas Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dalam koalisi ini, jika Ketua Umum PKB A. Muhaimin Iskandar tidak dipilih sebagai cawapres mendampingi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, maka koalisi ini berpotensi bubar.
“Dilema bagi Prabowo, kalau Cak Imin lari, PKB harus cari partai koalisi yang lain. Tetapi kalau siapa yang dipilih sebagai cawapres untuk di 2024, ini semakin berat bagi Prabowo. Seperti itu kalkulasinya,” ujar Ujang lagi.
Sementara Koalisi Perubahan, kata Ujang, koalisi yang secara resmi belum terbentuk karena belum ada kesepakatan bersama soal cawapres untuk mendampingi Anies Baswedan. Koalisi Perubahan yang terdiri atas Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat, bisa saja sewaktu-waktu berubah.
“Ini capresnya Anies, cawapresnya belum tahu juga siapa. Tapi apakah koalisi ini juga akan terbentuk? Kita belum tahu,” kata Ujang.
Kemudian dari sisi PDI Perjuangan, kata Ujang, memang sudah memiliki tiket untuk menentukan sosok capres maupun cawapresnya sendiri. Inilah yang menjadi keunggulan partai ini sehingga capres dan cawapresnya harus benar-benar diputuskan dengan baik dan benar karena ada risiko yang merugikan jika keputusannya salah.
Karena itu, kata Ujang, menarik menunggu keputusan PDI Perjuangan apakah mengusung Puan Maharani atau Ganjar Pranowo. Soalnya, bila mengusung Puan, PDI Perjuangan bisa pecah sebab bisa saja Ganjar kemudian diusung partai lain.
“Tetapi kalau mengusung Ganjar, PDI Perjuangan akan solid dan bisa jadi KIB itu akan gabung dengan PDI Perjuangan. Tergantung juga nanti kita lihat kalkulasinya ke depan seperti apa,” ujar Ujang.
Menurut Ujang, peta politik di Indonesia selalu menghadirkan drama dan kejutan yang tidak dapat diperhitungkan. Hal tersebut tercermin dari pemilihan cawapres partai koalisi yang mengusung Jokowi pada Pilpres 2019 di mana detik-detik terakhir posisi Mahfud MD yang kala itu digadang-gadang mendampingi Jokowi, digantikan Ma’ruf Amin.
“Itulah politik, jadi sampai detik akhir, selama belum ada perjodohan yang pasti sebelum didaftarkan di KPU pada 2023 ini, semuanya masih mungkin berubah. Jadi peta politiknya sementara masih seperti itu, dan ini tentu dinamis dan terus berkembang,” tutur Ujang.
Leave a reply
