
Pandemi Covid-19 Berhasil Tertangani, Hantu Stagflasi Kini Menjadi Ancaman Baru

Sri Mulyani Indrawati
Setelah pandemi Covid-19 relatif tertangani dengan baik, kini muncul risiko baru yang mengancam perekonomian global, termasuk Indonesia. Risiko baru ini sudah mulai terlihat pada tahun 2021 lalu, namun makin melonjak tingkat risikonya dengan terjadinya perang di Ukraina. Risiko baru tersebut adalah stagflasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tekanan inflasi sudah mulai muncul pada tahun 2021 lalu, yang terjadi karena pemulihan ekonomi dunia tidak berjalan secara merata. Kecepatan pemulihan dari sisi demand (permintaan) jauh lebih cepat dibandingkan respons dari sisi supply.
“Demand meningkat karena suku bunga menurun, likuiditas melimpah, fiscal policy-nya ekspansif dan ini mendorong permintaan di berbagai negara, terutama ketika pandemi sudah mulai bisa dikontrol,”ujar Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Kamis (19/5).
Pemulihan pada sisi supply tidak secepat pemulihan pada sisi permintaan terjadi baik karena beberapa daerah atau negara produsen masih menghadapi Covid-19, maupun karena lambatnya pemulihan pada sisi tenaga kerja (labor) dan distribusi. Akibatnya, harga barang dan jasa menjadi naik.
Sri Mulyani mengatakan tadinya para pengambil kebijakan terutama di sisi moneter, menganggap inflasi karena ketidakseimbangan permintaan dan penawaran ini sebagai sesuai yang temporer. Supply diharapkan segera mengejar ketertinggalan pemulihan pada sisi demand. Karena anggapan temporer itu, kebijakan moneter di seluruh dunia tidak langsung merespons dengan menaikan suku bunga pada tahun lalu.
“Namun, dengan terjadinya perang di Ukraina, yang kemudian menambah risiko terhadap pasokan energi dan pangan, dan kemudian terjadinya sanksi ekonomi, menyebabkan disrupsi sisi supply menjadi tidak temporer (lagi), tetapi cenderung permanen,” ujarnya.
Dalam kondisi supply side yang stagnan, tetapi demand yang sudah ‘ngegas’ atau naik tinggi, maka kemudian respons kebijakan moneter di tahun 2022 ini di berbagai negara saat ini cenderung menjadi hawkish (lebih ketat dan cepat). “Ini adalah perubahan yang luar biasa cepat, terjadi hanya dalam kurun waktu satu kuartal. Harga naik tinggi sekali dan kemudian kebijakan moneter merasa harus mengejar ketertinggalan dengan mengendalikan sisi demand-nya,” ujar Sri Mulyani.
Apabila inflasi tinggi ini kemudian direspons dengan kebijakan moneter yang ketat, maka menurut Sri Mulyani, hal ini kemungkinan akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi, atau bahkan menimbulkan resesi. Kombinasi antara resesi dan inflasi tinggi inilah yang disebut stagflasi. “Dari sisi pertumbuhannya stagnan, tetapi dari inflasinya tinggi,” ujarnya.
Fenomena stagflasi ini pernah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1980-an awal dan tahun 1990-an awal. Inflasi di Amerika Serikat paling tinggi sebesar 14,8% pada tahun 1980. Saat itu, respons kebijakan moneter terhadap inflasi tinggi tersebut dengan menaikan Fed Fund Rate (FRR) bahakn hingga mencapai 20% pada awal 1990-an yang menyebabkan resesi di negara itu.
Sri Mulyani mengatakan dengan kenaikan FRR 50 basis poin beberapa waktu lalu dan kemungkinan akan naik lagi sebesar 75 basis poin, maka diperkirakan akhir tahun ini, tingkat FRR menjadi 3,5%. “Tetapi itu mungkin bukan merupakan titik terakhir. Kalau kita lihat pernyataan dari Jerome Powell (Ketua Federal Reserve/Fed), di Wall Street Journal, dia mengatakan tidak akan segan menaikkan suku bunga di atas rate netral. Rate netral itu artiya, rate dimana dia mampu mengendalikan inflasi kembali ke level 2%. Inflasi sekarang sudah di 8,4%,” papar Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengakui risiko baru stagflasi ini merupakan risiko yang sangat kompleks. Sejumlah negara di dunia sudah menaikkan suku bunganya. Namun, mayoritas dari kebijakan moneter di dunia saat ini masih tertinggal dibandingkan tingkat inflasinya. Artinya, inflasi sudah jauh lebih tinggi, tetapi tingkat suku bunga masih jauh lebih rendah.
Dengan situasi ini, maka menurut Sri Mulyani, saat ini risiko bergser ke sektor keuangan termasuk suku bunga Surat Utang Negara (SUN). US Treasury sudah mengalami kenaikan meskipun Rabu kemarin kembali turun.
“Dalam tiga hari terakhir market sanagt tidak settle. Selama dua minggu kita merayakan Idul Fitri, dunia sebetulnya sedang bergunjang-gunjang, baik itu dari sisi saham, yield (obligasi), maupun dari sisi nilai tukar. Makanya sekarang kita baru mendapatkan dampaknya, karena kita sudah mulai aktif kembali,” ujarnya.
Dunia, saat ini, ungkap Sri Mulyani sedang dihadapakan pada potensi pertumbuhan ekonomi yang melemah dan di sisi lain inflasi melonjak. IMF telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 4,4% ke 3,6%. “Proyeksi 3,6% ini bukan merupakan revisi terakhir. Kita kemarin waktu di Spring Meeting sudah hampir yakin bahwa 3,6% tahun ini mungkin akan direvisi ke bawah lagi pada Pertemuan Tahunan. Bahkan sekarang sudah bicara di kisaran 3,2% hingga 3,4%,” ujar Sri Mulyani.
Untuk Indoenesia, beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan pertama 2022 mencapai 5,01%. Namun, menurut Sri Mulyani, pemulihan konsumsi rumah tangga sebetulnya masih sangat rapuh. Tahun 2020, konsumsi rumah tangga mengalami kontraksi -2,6%. Kemudian pada tahun 2021, pemulihan konsumsi rumah tangga hanya 2,0% dan Q1 2022 4,3%.
“Kalau kita bicara tentang pertumbuhan ekonomi harus pulih di atas 5%, konsumsi harus tumbuh lebih kuat,” ujarnya.
Menurutnya, pemulihan konsumsi rumah tangga tertahan oleh tekanan daya beli akibat kenaikan harga komoditas terutama energi dan pangan. “Makanya, fokus policy fiscal kita adalah untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi, daya beli masyarakat harus dijaga,” ujarnya.
1 comment
Leave a reply

[…] Amerika Serikat yang tahun ini diperkirakan agresif menaikkan Fed Fund Rate (FRR). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu menyampaikan hingga akhir tahun ini tingkat FRR diperkirakan akan mencapai […]